Teknologi Bantu Atasi Stigma Celah Bibir di Indonesia

Saat mengetahui anak yang dikandung punya celah bibir, Nurbaiti (27) tidak bisa menghindari rasa sedih.

“Aku tanya, ‘Salah makan apa, ya? Ngapain, ya?’” ujar ibu dari Jakarta ini. “Pasti gitu, menyalahkan diri sendiri.”

“Aku dan suami tinggal sama mertua juga. Cuma kita nggak kasih tahu mereka dulu sampai kita kuat.”

Celah bibir dan langit-langit (CBL) merupakan salah satu kondisi bawaan lahir paling umum di dunia.

Kelahiran dengan celah bibir dan langit-langit penyebabnya multifaktor.

Di Indonesia sendiri ada sekitar 4.000 kelahiran dengan kondisi CBL setiap tahunnya, menurut Drg. M. Syafruddin Hak, Ketua Umum Persatuan Bedah Mulut dan Masilofasial (PABMI).

Di berbagai kawasan dunia, termasuk India dan Afrika, pasien CBL masih mengadapi stigma negatif dari lingkungan tempat tinggal mereka. Di antaranya dicap sebagai “kutukan” dan mempermalukan keluarga.

Namun, pengalaman Nurbaiti dan suaminya berbeda. Orang tua dan warga di lingkungan sekitar menerima dan mendukung mereka.

Whatsapp jadi platform bagi orang tua pasien CBL untuk saling memberikan informasi dan dukungan.

“Kalau (warga lingkungan) yang aku temuin, pasti langsung, ‘Oh nggak apa-apa, nanti juga rapih.’ Ternyata di sekeliling mereka juga ada yang kondisinya sama. Jadi nggak ada stigma negatif.”

Nurbaiti juga kini tergabung dalam grup Whatsapp bersama orang tua pasien CBL lainnya. Mereka saling berbagai informasi, seperti memberikan rekomendasi rumah sakit dan dukungan emosional.

“Banyak grupnya di lingkungan daerah luar kota, Jawa gitu misalnya,” kata Nurbaiti. “Ya, kita sama-sama support yang baru ikut (grup ini).”

PABMI: Smartphone Bantu Hapus Stigma

Stigma negatif “sudah mulai hilang di era informasi yang sangat terbuka,” menurut Drg. Syaf.

Menurut Dr. Syaf dari PABMI, teknologi, akses informasi, dan pendidikan yang semakin baik membantu keluarga pasien memahami kondisi CBL secara medis.

“Jadi sekarang karena semua orang pakai smartphone, mereka bisa tahu akibatnya,” kata Drg. Syaf. “Pasien dan keluarga datang ke sini dengan segala pertanyaan, dan saya tinggal konfirmasi aja.”

“Stigma buruk di daerah-daerah, misalnya ‘Wah, ini karena waktu hamil, ayahnya mancing,’ sekarang sudah hampir hilang. Mereka saling dukung karena sudah dapat informasi yang baik.”

Stigma negatif terhadap CBL masih ditemukan di sejumlah daerah di Indonesia. (Ilustrasi)

Namun, ini bukan berarti stigma terhadap CBL di Indonesia telah hilang total.

Tahun 2014, Drg. Asri Arumsari menemukan topeng dengan celah bibir di Bali. Saat ia menanyakan makna dari topeng tersebut, warga menjawab bahwa itu adalah simbol kebodohan.

Drg. Franciskus Praba, program director Yayasan Karya Hati Insani di Semarang, juga mengatakan pandangan orang tua dan masyarakat terhadap CBL berbeda di setiap daerah.

“Ada mereka yang dikasih operasi gratis, tidak mau. Dikasih dan disuruh bayar, dia lari,” ujar Frans. “Karena level edukasinya, dari kulturnya, tiap daerah itu beda-beda.”

Drg. M. Syafruddin Hak (kedua dari kanan) dan Drg. Franciskus Praba (kanan) bersama tim bedah RSAB Harapan Kita Jakarta.

Deasy Larasati, program director organisasi nirlaba Smile Train Indonesia, menyatakan stigma negatif dan rasa bersalah orang tua menghalangi akses pasien CBL untuk mendapatkan perawatan.

“Banyak juga anak yang berhenti sekolah karena mereka malu harus menerima bullying di sekolah,” tambah Deasy.

Saling Berbagi Informasi

Penyebaran informasi seputar CBL, baik online atau langsung, berguna untuk mengurangi keresahan orang tua dan membantu pasien mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.

“Pasiennya itu sebenarnya belum merasakan apa-apa. Yang merasakan sedih, perlu dukungan, itu adalah orang tuanya,” ujar Frans. “Jadi kita memotivasi agar orang tua terus merawat pasien dengan dokter bedah.”

Seperti Nurbaiti dan grup Whatsapp-nya, Frans membentuk grup Whatsapp “HOPE” (Harapan Orangtua Ex-sumbing). Sejauh ini anggotanya sekitar 60 orang tua, dan mereka sering berbagi foto anak-anak dan menanyakan kabar orang tua lainnya.

“Dengan grup Whatsapp ini, kita membuat komunitas,” kata Frans. “Misalnya ada yang tanya, ‘Dok, ini kalau bersihkan luka gimana?’ Terkadang saya belum balas, tapi mereka saling menjawab. Whatsapp itu lebih ngena di Indonesia.”

Meski grup Whatsappnya sukses, Frans percaya relawan lebih optimal dalam menjangkau pasien.

“Budaya kita, kita senang kalau diajak ngobrol. Meski cuma dibilangin, ‘Ini anaknya nggak apa-apa, bu.’”

Drg. Syaf juga memuji pekerja sosial yang melakukan penyuluhan ke daerah-daerah terpencil.

“Jasa-jasa mereka itu sangat penting karena mereka akan menjelaskan ini bukan kutukan, dan ini bukan salah siapa-siapa, sangat bagus,” ujarnya.

PABMI sendiri melayani hingga 1.000 pasien per tahun. Mereka juga punya program bulanan, dan 11 pengurus wilayah yang dibagi ke tiga kawasan: Sumatra, Jawa, dan Makassar hingga ke timur Indonesia.

Sementara organisasi Smile Train Indonesia telah melakukan hampir 76.000 operasi untuk warga kurang mampu, bekerja sama dengan TNI AD untuk mencari pasien di daerah terpencil, dan mengadakan pelatihan untuk dokter dan spesialis bedah mulut.

Penyebab pasti kebanyakan kasus CBL masih belum diketahui, tapi ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kelahiran dengan kondisi tersebut.

Menurut penelitian, 30 persen kondisi CBL disebabkan oleh mutasi genetik.

Lingkungan juga jadi salah satu faktor penyebab CBL. Di antaranya polusi dan gaya hidup – termasuk ibu yang merokok, kekurangan gizi, minum alkohol, dan menggunakan obat-obatan tertentu selama masa kehamilan. [np/fw/dw]

https://www.voaindonesia.com/a/teknologi-bantu-atasi-stigma-celah-bibir-di-indonesia/4817839.html

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *