SERI DISKUSI MAWADAN 87 “DILEMATIS DALAM MEMBUKA SEKOLAH, OFF LINE ATAU ONLINE”
DUTATV.COM-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, kali ini ijinkan saya menulis agak panjang dari seri biasanya, karena mengungkapkan hal yang menarik dii Group WA Mahasiswa teladan Nasional 1987, belum lagi reda hangatnya acara yang diselenggarakan Talk Show Virtual bersama Khairul Tanjung, Prof. Irwan Abdullah (guru besar antropologi UGM, dan Frans Leburaya (gubernur NTT 2008-2018) yang membicarakan tema besar “KONDISI SOSIAL EKONOMI DIMASA PANDEMI” dalam Seri Diskusi Mawadan MENJAGA SEMANGAT, MEMBANGUN ASA, INDONESIA JAYA, disibukkan lagi dengan narasi awal untuk seri diskusi berikutnya dibidang pendidikan di masa pendemi sekarang yang membuat adanya dilema antara sekolah off line dengan belajar online atau membuka sekolah seperti biasa versus sekolah secara online.
Sahabat ! memang disadari komunitas Alumni Mahasiswa Teladan 1987 banyak di isi oleh orang-orang yang mempunyai keahlian dibidang pendidikan, termasuk praktisi pendidikan dan pemerhati pendidikan dengan berbagai disiplin ilmu, dan lebih unik lagi mereka tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia. Oleh karena itu diskusi menjadi sangat konphrehensif, cerdas dan “berwarna” dengan karakter ilmu dan pengalaman di daerah masing-masing, yang sering saya sebut sebagai pendekatan berdasarkan kondisi objektif dimana permasalahan itu timbul. Sayangnya memang dalam menghadapi berbagai keragaman, kondisi objektif yang berbeda pada masing-masing daerah terkadang mau digeneralisasi oleh sebuah kebijakan penyeragaman.
Sahabat ! berikut bagaimana diskusi yang terjadi antara Prof. Satria Bijaksana (Guru Besar ITB), Prof. IB.Raka (Guru Besar UNDIKNAS Bali), Uni rezky (Pemerhati dan Praktisi Pendidikan di Bukit Tinggi) dan Tjipto Sumadi (UNJ) sang perancang Kurikulum 2013.
Setelah gonjang-ganjing membicarakan pro kontra pendidikan di era pandemic ini Prof Satria Bijaksana menulis : “Generasi kita memang tidak pernah mengalami interupsi dalam pendidikan kita … kita menganggap bahwa pendidikan yang kita ‘nikmati’ adalah sesuatu yang biasa sehingga terkadang tidak lagi kita syukuri … orangtua terkadang begitu mudahnya menyerahkan seluruh proses pendidikan pada guru di sekolah. Nah pengalaman kita ini SANGAT BERBEDA pengalaman orangtua kita. Ibu saya yang saat ini berusia 82 tahun sering cerita bagaimana sulitnya menikmati pendidikan pada kurun waktu 1946-1948. Kakek saya adalah seorang guru dan juga anggota laskar, sehingga kakek, nenek, ibu saya serta saudara-saudaranya harus mengungsi, berpindah dari satu desa ke desa lain untuk menghindari kejaran pasukan Belanda. Hal ini terjadi sekitar 3 tahun dan berdampak langsung pada pendidikan ibu saya yang baru bisa menyelesaikan sekolah dasar pada usia 14-15 tahun. Saat itu pilihannya adalah survival/bertahan untuk menyelamatkan diri. Pengalaman keluarga ibu saya ini mungkin tidak sama dengan pengalaman keluarga lain yang tidak harus mengungsi atau keluarga di wilayah lain yang relatif tidak ada konflik bersenjata. Tidak harus saling menyalahkan dan tidak harus ada proses untuk saling menghakimi. Nah analogi dengan sekarang ini, mungkin ada keluarga yang sangat terdampak pendidikan anak-anaknya namun mungkin ada keluarga yang tidak terdampak. Ada wilayah yang masih rawan penularan namun ada wilayah yang aman terhadap penularan. Di sinilah peran pemerintah dan masyarakat setempat menjadi penting. Tidak bisa lagi ada kebijakan yang seragam di seluruh negeri, karena kondisi nya memang berbeda-beda. Nah silahkan sahabat MAWADAN87 menempatkan diri pada posisi sesuai dengan kapasitas dan potensi yang dimiliki. Saya yakin bahwa kita semua ingin berkontribusi pada Indonesia yang lebih baik. Nah hal-hal inilah yang terkait dengan solusi dan optimisme yang perlu kita bangkitkan dan kita bagi melalui acara-acara kita ke depan. Setuju kan?
Sahabat ! dari tulisan itu muncullah tanggapan tentang dikotomi pendapat terhadap keputusan anak untuk bersekolah disekolah dengan membuka sekolah seperti biasa yang banyak diminta oleh orang tua karena ketidaksiapan siswa, orang tua dan infrastruktur digital yang menunjang pembeljaran secara daring, disamping pendapat yang menginginkan secara daring agar anak terhindar dari resiko penyebaran covid 19. Dari sini kemudia Uni Rezki mengatakan “ … ini pertanyaan yang saya tak tahu jawabannya, di masa sekarang. Kok bisa sekolah/guru lebih kuasa memutuskan seorang anak ke sekolah atau tidak. Awal2 pandemi, ada omongan orangtua khawatir anak nya, murid SD masuk sekolah. Tanggapan saya, orangtua memutuskan segala sesuatu untuk keselamatan anak”.
Sahabat ! atas tanggapan itu, Prof. Satria Bijaksana meneruskan penjelasannya “ Uni Rezki dan sahabat MAWADAN87 lainnya, mungkin sekarang kita tidak lagi membuat dikotomi antara guru/sekolah dengan orangtua. Sebagian besar guru juga adalah orangtua. Saat ini semua (orangtua, murid, guru, sekolah, pemerintah) seyogyanya berada di pihak yang sama. Mengacu pada uraian saya di atas, kondisi di masing-masing tempat berbeda. Kita semua berharap bahwa para stakeholders bisa sampai pada kesepakatan tentang soal bagaimana pendidikan di laksanakan (langsung, daring, luring, blended) dengan mengedepankan keselamatan semua pihak sebagai prioritas utama. Kalau saya jadi menteri mungkin saya akan ngomong bahwa soal kurikulum, capaian pembelajaran dsb adalah sesuatu yang bisa disesuaikan … tidak harus sama di semua tempat … dengan demikian tidak ada lagi tekanan terhadap murid, guru, maupun orangtua … semuanya silahkan sesuai berjalan dengan memperhatikan kondisi di masing-masing tempat atau wilayah. Jadi kalau di suatu daerah ada pembatasan ya nggak apa-apa “wong” kondisinya mengharuskan demikian … Jika di tempat lain ada pelonggaran ya nggak apa-apa juga. Gitu pandangan saya Uni …, Hal ini langsung ditanggapi oleh Uni Rezki “ Saya tidak melihat secara dikotomis, saya berharap kita memotivasi pemanfaatan seluruh ruang dan waktu untuk edukasi. Karena kecenderungan dikotomis yang saya cermati terjadi belakangan. Sekolah dan rumah tangga bahkan komunitas adalah tempat yang potensial untuk edukasi.
Sahabat ! dari diskusi di atas, Prof. IB Raka menimpali pembicaraan dengan mengatakan “Benar Kang Satria, kebijakannya tergantung kondisi daerahnya, saya dengar di NTT (Nusa Tenggara Timur), malah sekolah seperti biasa, terutama di Kabupaten-Kabupaten yang daerahnya aman dari kasus Covid 19. Tapi kalau di Bali, sama sekali nggak berani buka sekolah, karena meski tidak separah Surabaya (yang katanya zona pekat), kami di Bali masih menutup sekolah-sekolah dari tingkatan PUD sampai dengan tingkatan SMA, termasuk Perguruan Tinggi. Apalagi seperti kampus saya PTS (Perguruan Tinggi Swasta), tidak berani melakukan kuliah normal, semuanya memakai daring, pertimbangannya “Jika satu saja ada yagg kena kasus (terpapar covid 19) di kampus, maka “habis sudah kami”.
Sahabat ! tentu sesungguhnya lebih bijak kalau tidak mempertentangkan antara sekolah dengan tatap muka yang selama ini dijalani (sebelum pandemi) dengan sekolah cara daring atau online atau virtual yang dijalankan pada masa pendemi. Mesti dicarikan jalan tengah antara keduanya agar terjadi proses adaptasi pada masa transisi belajar di era digital sekarang, ada semacam jalan keluar yang bijak untuk menerapkan system off line pada kondisi tertentu yang masih terkendala belum siapnya infra struktur digital dan kondisi ekonomi masyarakat serta paradigma siswa dan orang tua yang masih belum siap dan terbiasa dengan system on line, yaitu dengan mendatangkan guru ke rumah atau tempat tertentu yang memenuhi protocol kesehatan. Atau menerapkan kebijakan prosesntasi yang seimbang antara belakar on line dengan yang off line dengan besaran prosentasi tergantung kepada kondisi objektif pandemic dan social ekonomi masyarakatnya.
Sahabat ! akhirnya diujung tulisan ini muncul sahabat yang memang pakar dibidang pendidikan, yaitu Tjipto Sumadi dengan memberikan komentar sebagai berikut “ Alhamdulillah… Ramai membahas proses pembelajaran di era pandemi… Secara pribadi, beberapa teman yang sedang di posisi pengambil kebijakan di Kemdikbud memang tengah mengalami dilematis dalam menerapkan kebijakan PJJ (karena DPR dan sejumlah kalangan menolak kebijakan mempermainkan PJJ). Atas permintaan tersebut saya memberikan pandangan sebagai berikut.
Ada beberapa fakta yang beresiko jika sekolah dibuka seperti biasa, yaitu : (1). Siswa pada PAUD dan SD merupakan kondisi yang rawan beresiko terpapar) kelompok. Rentan tertular (terutama Balita dan Lansia >50 tahun; Guru Senior). (2). Pada ruang tertutup 20% lebih cepat terjadinya transmisi virus. (3). Sanitasi sekolah cenderung tidak/kurang memberikan jaminan keamanan dari persebaran virus (fakta di negara maju yang buka lalu segera menutup sekolah kembali) (4). Lebih tidak mudah mencegah Siswa untuk tidak berkumpul, dibanding dengan kelompok usia belajar yang lebih tua, seperti mahasiswa). (5). Jika Siswa masuk sekolah dapat dipastikan orangtua dan atau pendamping yang mengantarkannya (terutama PAUD, TK, dan SD) dapat dipastikan dapat menjadi bagian dari kelompok “penyebar” Penularan. (6). Lebih bijak jika pilihannya adalah “Kunjungan Guru” untuk mendorong dan memotivasi agar anak tetap belajar di rumah (seperti banyak dilakukan di pelosok di Indonesia). Kebijakan yang dikeluarkan sebaiknya bersifat lex generalis dan lex specialis, serta dalam kondisi tertentu dapat diberlakukan in exception…
Sahabat ! ada ciri khas celotehan sahabat kami yang satu ini, yang biasanya membuat suasana mencair dengan “joke” nya, disinipun Tjipto Sumadi kembali beraksi dengan mengatakan “Kalau ini pandangan subyektif saya… Ada iklan yang bagus dan dapat menjadi pertimbangan… BUAT ANAK KOQ COBA-COBA……”Refer to my own self… Cucu saya usia anak dini (balita) lebih baik di rumah sepanjang 1 tahun daripada keluar rumah (ikut play group atau sejenisnya) tetapi kamu akan beresiko kehilangan untuk selamanya…” Pada akhirnya hidup memang pilihan, tetapi pilihan harus berbasis rasional dengan pertimbangan emosional…. rasio dan rasa.
Sahabat ! kebayangkan kan kalau dibulan agustus ini kami akan agendakan WEBINAR ATAU TALK SHOW VIRTUAL MEMBAHAS ISUE DI ATAS, karena masih tersimpan mutiara pendapat dari ahli dan praktisi sahabat lainnya, ada Prof.Suyatno (Guru Besar UNESA dan Kwarnas Pramuka), AT.Sugeng (pakar dan praktisi pendidikan dari UNES Semarang), Dayang Djunaida (praktisi pendidikan di Kalimantan Timur) dan M.Daud (pakar pendidikan usia dini di Makasar) serta puluhan sahabat lainnya yang insyaallah 2 atau 3 jam tidak akan cukup waktu bila semua mereka bicara.
Sahabat ! semua ini kami persembahkan UNTUK INDONESIA JAYA, BERSATU DALAM KERAGAMAN DAN BERKARYA UNTUK BANGSA.
Salam Secangkir Kopi Seribu Inspirasi
#SemakinTuaSemakinBahagia
#SemakinTuaSemakinBahagia