Pernyataan Bohong H. Denny di Media Berkonsekuensi Hukuman Penjara

BANJARMASIN, DUTA TV – Adanya pernyataan Calon gubernur Kalsel Profesor Denny Indrayana, ternyata memantik reaksi berbagai pihak, terkhusus dari berbagai elemen masyarakat, yang melaporkannya ke pihak berwenang.

Statement yang mengemuka yakni menyebut 74% warga pemilih Banjarmasin memilih calon lantaran Uang (money politics), dengan pijakan data yang didalihkan dari hasil survey sebuah riset lembaga survey SMRC. Namun hal itu buru buru dibantah Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas yang mengaku tak pernah merilis temuan survei terkait Kalsel di tahun 2019.

Kondisi dan dinamika politik tersebut, akademisi hukum pidana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam STIHSA, Wahyu, SH. MH., Menilai persitiwa tersebut terlihat adanya sebuah pemberitaan yang patut diduga terindikasi pemberitaan hoax, yang memiliki konsekuensi Yuridis.

“Dengan adanya pemberitaan hoax, masyarakat akan dirugikan dengan sebaran berita yang tidak jelas, serta menjadikan keraguan terhadap segala informasi yang diterimanya yang pada akhirnya masyarakat menjadi bingung,” kata Wahyu dalam keterangannya, Kamis (6/5/2021).

Pakar hukum pidana STIHSA Banjarmasin ini menuliskan rentetan konsekuensi yuridis dari penyebar berita hoax atau bohong, karena patut diduga sudah melanggar ketentuan dalam UU ITE ” Secara normatif UU ITE (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atasUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) telah mengatur mengenai pemberitaan bohong (hoax), yang mana bagi pelanggarnya dapat dikenai Pasal 45A ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah).”

Adapun Pasal 28 ayat (1) berbunyi:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.” jelas Wahyu.

Wahyu menyebut, suatu kabar yang merupakan kabar yang tidak pasti, berlebihan, atau tidak lengkap, dinilai sudah dapat dikatakan sebagai kabar bohong.

“Jadi, pengaturan Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor1 Tahun 1946 Hukum Pidana, menyiarkan kabar bohong dapat mencakup perbuatan-perbuatan yang sekarang dikenal sebagai menyiarkan kabar bohong (hoax), sekalipun dilakukan tidak melalui media elektronik, dan juga delik-delik tersebut merupakan delik biasa, bukan delik aduan, sehingga penuntutan dapat dilakukan dengan tidak memerlukan adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau pihak yang dirugikan.” tutup Wahyu.

Tim

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *