“PEMILU KARDUS DAN KARDUS KEHIDUPAN ?”

BANJARMASIN-DUTATV. Sahabat Secangkir Kopi Seribu Inspirasi, saya ingat betul akan petuah para guru-guru saat belajar hukum, bahwa hukum itu adalah semantik, sehingga kajian ilmu hukum juga sangat terkait dengan “bahasa”, dan setiap aturan hukum dituangkan dalam bentuk kata-kata, dan kata-kata inilah yang sahabat dapat lihat dalam bentuk peraturan tertulis perundang-undangan kita. Disamping itu pada saat menerapkan hukum dalam suatu kejadian di masyarakat (baca kasus hukum atau fakta hukum) digunakan lagi “penafsiran hukum” dalam rangka “hermeunitika” hukum sebagai proses berfikir mencocokan norma hukum ke fakta hukum dan kemudian dari fakta hukum ke norma hukum lagi, sehingga nantinya akan ditemukan aturan hukum mana yang cocok dengan kasus hukum itu, proses ini biasanya disebut “penemuan hukum dalam suatu kasus hukum”.

Sahabat ! saya tidak bermaksud menyampaikan pelajaran hukum kepada sahabat semua he he…., namun menjadi pengantar untuk menunjukan suatu penafsiran  suatu pengertian atau pemaknaan dari  kata atau istilah yang sering kita sebut arti atau nakna, yaitu makna denotatif dan makna konotatif. Dari sinilah inspirasi ini dimulai pada saat sahabat muda saya Fathurrahman Kurnain (dosen di FISIP ULM) meminta kepada saya untuk memberikan pengantar atau catatan atas karyanya yang berjudul PEMILU KARDUS IDEALISME YANG TAK TERUNGKAP, tentu saya menulis inspirasi ini berdasar dari pemaknaan yang dalam istilah penafsiran hukum dalam kamus hukum, dari konsep makna denotatif telah bergeser ke makna konotatif.

Sahabat ! makna denotatif adalah makna yang sebenarnya dari kata, sedangkan makna konotatif adalah makna yang sudah berkembang dari makna yang sebenarnya tersebut, walaupun keduanya masih ada kaitan. Seperti kata “kardus” yang menjadi topik sahabat muda kita tersebut daalam pembahasannya dalam buku tersebut, yang menurut saya secara denotatif adalah mengandung pengertian karton sebagai suatu benda (kata benda) sehingga kalau dibuat dalam bentuk kotak, maka sering kita sebut sebagai kotak kardus atau kalau kita jadikan pembungkus dalam bentuk tertentu, maka kita juga menyebutnya sebagai pembungkus kardus.  Begitulah makna denotatif kardus ini yang dalam wujudnya kita melihat kotak dari karton menjadi kotak kardus, rumah dari karton menjadi rumah kardus, termasuk dari kotak-kotak bekas pembungkus apapun yang kemudian dijadikan dinding rumah, maka menjadi bangunan kardus.

Berita Lainnya

Sahabat ! tentu pada saat menyebutkan istilah “pemilu kardus” sahabat muda kita ini tidak sedang bicara dalam makna denotatif, walaupun ide dasarnya bisa muncul dari kardus dalam makna yang sebenarnya, karena dalam pemilu serentak 2019 ini kotak suara yang digunakan adalah berbahan kardus yang sempat diributkan oleh para politisi akan ketahanan dan kekuataannya dan dinilai potensial memberikan ruang untuk kecurangan. Namun disisi lain kotak yang terbuat dari kardus ini  bernilai ekonomis dalam menghemat anggaran negara dan juga lebih praktis dalam pengangkutan dan perakitannya, sehingga dinilai lebih tepat digunakan pada pemilu serentak tahun 2019 yang memerlukan banyak kotak suara untuk pemilihan DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden, yang berarti jumlah kotak pada setiap TPS adalah 5 Kotak, sehingga kalau diseluruh Indonesia kita memerlukan 169.669 TPS maka anda bisa menghitung sendiri berapa kotak suara yang diperlukan dan berapa biaya yang diperlukan untuk membuat kotaknya.

Sahabat ! suatu pemaknaan pada dasarnya bersifat relatif, karena antara makna dan pemaknaan mempunyai hubungan yang bersifat tidak tentu atau tidak pasti, oleh karena itu suatu pemaknaan terhadap suatu objek tertentu sangat wajar berbeda antara subjek pemakna yang satu dengan subjek pemakna yang lain.  Begitu juga dalam kehidupan bertutur kepada kita adanya usaha penyeragaman fikiran sesungguhnya akan melawan keniscayaan akan adanya perbedaan, suatu pemaknaan akan mempunyai kesamaan kalau metode yang digunakan sama dan derajat keilmuan yang memaknainya juga sama atau sepadan. Oleh karena itu sesungguhnya perbedaan pemaknaan tidak untuk diperdebatkan apalagi saling merendahkan, namun yang bijak adalah menelusuri cara berfikir pemakna kenapa sampai memaknai sesuatu itu seperti itu.

Sahabat ! bagi saya Pemilu kardus bisa dimaknai formal dan bisa dimaknai substansial yang beranjak dari pemaknaan denotatif ke pemaknaan konotatif. Secara formal pemilu kardus mempunyai bentuk kerapuhan yang pelaksaannya masih banyak diwarnai oleh kelemahan atau bahkan kecurangan, sehingga sangat rentan dipermainkan oleh “air hujan” dan “bantingan” yang membuat pemilu tersebut hancur.  Dari sisi kualitas formal, pemilu kardus dapat dipersamakam dengan adagium dalam ilmu hukum, bahwa pemilu itu seperti sarang laba-laba yang hanya menjerat (memaksa patuh) pada masyarakat biasa, akan tetapi dihancurkan oleh yang besar (baca=elit dan kaum berduit), oleh karena itu semboyan-semboyan yang selama pemilu terpajang TOLAK POLITIK UANG, PEMILU JURDIL, PEMILU LUBER hanya sebatas semboyan yang dalam pelaksanaannya berbagai realitas yang dirasakan dan sulit dibuktikan atau karena sistem tidak dapat dibuktikan bertolak belakang dari semboyan tersebut.

Sahabat ! dalam pemaknaan yang substansial, kardus hanyalah sebuah bungkus yang didalamnya sesungguhnya terkandung nilai nilai ideal yang melekat padanya, sehingga berbanding terbalik dari pamaknaan yang formal di atas, ia berisi daulat rakyat, hak rakyat menentukan pimpinan dan wakil terbaiknya, ia akan menggerakan proses dari rakyat dan untuk rakyat, sehingga terjadi proses percepatan kesejahteraan dalam berorganisasi yang kita sebut negara. Dari konsep substansial ini pemilu kardus berisi proses yang fair yang mampu melahirkan wakil dan pimpinan terbaik, sehingga ditangan mereka ini nantinya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara bisa diwujudkan.

Sahabat ! dalam pandangan yang substansial kritis, aspek formal hanyalah sebagai bungkus, sehingga yang menentukan itu adalah isi atau substansinya, sehingga bungkus itu bisa saja memperlihatkan yang baik dan lembut, akan tetapi isinya bisa saja kejahatan atau yang keras, seperti dalam teori “iron fist and valvet gloves” (sarung tinju besi berselebung belederu) kejahatan atau kecurangan itu bisa dibungkus dengan sesuatu yang lembut atau kelihatannya tidak jahat.  Begitu pula sebaliknya terhadap bungkus yang kelihatannya rapuh, bisa saja didalamnya mempunyai kekuatan yang luar biasa, sehingga dalam bahasa populer sering disebutkan “yang penting itu adalah isinya bukan kulitnya” karena kulit itu belum bisa menggambarkan isi yang sebenarnya.

Sahabat ! begitu pulalah tentang “pemilu kardus” kita bisa memaknai sebagai pemilu yang berkualitas, kalau secara substansial pemilu itu dilaksanakan dengan prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan serta hemat biaya,  walaupun hanya dengan kotak kardus sebagai kotak suaranya. Namun “pemilu kardus” juga bisa menggambarkan wujud aslinya yang rapuh kalau pelaksanaan pemilu tersebut dilaksanakan dengan cara curang, menggunakan pengaruh uang dan kekuasaan.

Sahabat ! sebuah keniscayaan sebagaimana alam kehidupan bertutur, bahwa tidak ada didunia ini yang sempurna, yang ada hanyalah terus berusaha untuk sempurna, sepanjang peraturan dan pelaksananya adalah dibuat dan diperankan oleh manusia, maka akan selalu kita temui pertempuran antara kejujuran dan kecurangan, sebagaimana layaknya bertarung antara “malaikat” dan “iblis” dalam diri kita, sehingga mengakibatkan fluktuatifnya iman manusia.  Oleh karena itu sesungguhnya yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha untuk berpihak dalam fikiran dan tindakan mewujudkan nilai-nilai ideal dari pemilu tersebut, walaupun akhirnya nilai-nilai ideal itu kembali bisa dimaknai berbeda bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu pesta demokrasi.

Sahabat ! sebuah pemilu kardus merefleksikan kebenaran dan kejujuran dan keadilan pemilu melekat kepada kita semua, dan pada saat kita bisa mengosongkan hati dan fikiran kita untuk kemuliaan hidup, maka saat itu sesungguhnya kita bisa merasakan seperti apa nilai nilai tersebut kita wujudkan.  Akan tetapi pada saat berhadapan dengan kepentingan kita sendiri, kepentingan kekuasaan, kepentingan keluarga, kepentingan golongan, kepentingan ekonomi dan kepentingan-kepentingan lainnya, maka ada hambatan untuk mengosongkan hati dan fikiran kita tersebut, sehingga ada semacam hambatan yang menyebabkan kita terhalang untuk mewujudkannya.

Sahabat ! adanya keterhalangan itu tidak menyebabkan perilaku yang sifatnya ambigu atau bahkan melakukan pembenaran dari suatu ketidak benaran atas pelaksanaan pemilu tersebut, melainkan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan amanah nilai-nilai ideal yang terkandung dalam pemilu.  Tanpa bermaksud memberikan penilaian atau juga mentolerer adanya makna kardus yang “curang”, maka secara kontekstual sesungguhnya siapapun kita bisa terjebak kepada kondisi tersebut kalau kita berada dalam lingkaran yang terjun dalam bidang politik praktis.  Artinya pada saat kita berada di luar sistem politik dapat menilai dengan objektif, akan tetapi saat kita berada dalam sistem itu terdapat suasana ketidak berdayaan kita mempertahankan nilai-nilai idealisme.  Bagaimana tidak ! setiap hari kita disuguhi doktrin “buat apa bermain cantik kalau hasilnya kita kalah”, dan “kalau kalah berarti ya kalah” yang akan disingkirkan orang, maka bemainlah untuk manang dengan berbagai cara, sekalipun dengan cara “curang”, pokoknya kita harus menang.

Sahabat ! hal inilah yang terjadi di pemilu kardus kita, semua berfikir dan berusaha untuk menang dengan cara apapun, arena politik sebagai arena pengabdian dan ibadah tak lebih hanya akan kalah, oleh karena itu sampai muncul pendapat “biar aja saya bermain curang, nanti paling tidak kekuasaannya akan saya jalankan dengan benar dan jujur”, biarlah jalan pintas yang diambil, namun saat saya sampai ketujuan akan saya gunakan membawa kepada kebaikan. Namun pertanyaannya apa mungkin ini bisa ya ? jawabannya bisa mungkin dan bisa tidak, namun kecenderung “memakai jalan sesat akan menyebabkan penggunaanya juga sesat” bisa dipertimbangkan oleh kita untuk menyikapi hal tersebut.

Sahabat ! tarik menarik dua sisi pertarungan antara “iblis” dengan “malaikat” dalam pemilu kardus inilah menjadikan orang seperti saya sangat ragu dan tidak berani terjun sebagai pemain dalam pemilu, namun seorang tokoh yang tidak usah saya sebutkan namanya kembali berucap yang isinya kurang lebih seperti ini “kalau politik (pemilu) dijauhi oleh-orang baik, maka jangan salahkan kalau orang-orang “kotor” menguasai politik kita”.

Sahabat ! akhirnya saya mengambil sikap, sangat menghormati orang-orang yang terjung di dunia politik dan mendoakannya agar “pertarungan iblis dan malaikat” dalam diri kita itu akan dimenangkan oleh malaikat, atau paling tidak secara perlahan peperangan itu akan dimenangkan oleh malaikat. Lantas seperti apa konsep operasional dan lanjutannya… saya hanya bisa menyaksikan mereka yang bertarung yang seolah-olah tidak bisa bersatu, seperti bersatunya iblis dan malaikat itu ternyata bisa saja bersama dan bersatu lagi dengan mengambil benang penyambungnya “demi bangsa” sehingga seolah-olah telah selesai pertarungan itu.

Akh ! politik ? apa sih yang tidak bisa terjadi dalam politik, karena sesungguhnya di dunia mereka yang menjadi panglimanya adalah KEPENTINGAN, dan kepentingan ini tentu tidak saja mengandung makna negatif, karena dia juga bisa bermakna positif, seperti demi kepentingan bangsa tersebut, tapi lagi-lagi fikiran “liar” saya bertanya apakah kepentingan dalam makna yang denotatif atau dalam makna yang konotatif dan seterusnya apakah bungkusnya sama dengan isinya. Akhirnya semuanya dikembalikan kepada kita dan pilihan apapun yang kita ambil tentu dengan “rationing” masing-masing, disinilah letak isensi tulisan sahabat muda kita Fathurrahman Kurnain “sebuah refleksi demokrasi yang terjadi sekarang dan harapannya dimasa depan”, namun dengan refleksi ini, paling tidak ide dan “kegalauannya” sudah tersampaikan.

Sahabat ! terlepas dari semua itu kita bersyukur atas pemilu kardus yang sudah terlaksana… dan sampai disini saya akhiri untuk tidak memperpanjang lagi tulisan ini, walaupun masih ingin menyampaikan dan menjelaskannya.

Salam Secangkir Kopi Seribu Inspirasi.

#Semakintuasemakinbijaksana

#semakintuasemakinbahagia

Dr. Syaifudin

Dewan Redaksi Duta TV

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *