Laga Pilkada: Tren Calon Independen Vs Ujian Eksistensi Parpol

DUTA TV BANJARMASIN – Sobat Duta TV yang budiman, apa yang terlintas dalam pikiran anda seandainya legenda tinju Muhammad Ali berduel di atas ring tinju melawan Superman? Mungkin banyak yang menganggap hal ini sebagai sebuah kekonyolan yang mustahil terjadi. Namun faktanya, keduanya pernah dipertemukan untuk saling baku hantam oleh DC Comics di tahun 1978. Bermula dari ide gila editor DC Comics, Julius Schwartz yang menginginkan pahlawan dunia nyata untuk bertanding dengan superhero dunia fiksi. Muhammad Ali yang saat itu tengah berada di puncak kejayaannya sebagai juara dunia tinju kelas berat kemudian dipilih untuk bertarung dengan Superman yang dielu-elukan sebagai manusia terkuat di jagad raya.

Walaupun mulanya sempat ditertawakan oleh banyak orang di DC Comics, namun pada akhirnya mereka setuju untuk menggarap ceritanya. Tidak kepalang-tanggung, sampul komiknya tergambar banyak para tokoh dunia nyata dan dunia fiksi turut menyaksikan langsung laga ikonik tersebut, seperti Frank Sinatra, Jimmy Carter, The Beatles, The Jacksons Five, Pele, Don King, Andy Warhol, hingga Batman. Pertarungan antara Muhammad Ali yang dijuluki sebagai “The People’s Champion” melawan “Man of Steel” ini ternyata menjadi cerita komik terspesial yang pernah ada. Bahkan sampul komik episode Superman vs Muhammad Ali menjadi salah satu gambar yang paling banyak dibagikan di media sosial pasca mangkatnya peraih gelar World Heavyweight Champion tiga kali itu.

Cerita perseteruan keduanya dimulai saat ras alien yang bernama Scrubb datang dan berencana untuk menginvasi bumi. Scrubb merupakan bangsa petarung, mereka menantang makhluk terkuat di bumi untuk melawan juara terhebat mereka yang bernama Hun’ Ya. Jika Hun’ Ya menang maka bumi akan mereka musnahkan, akan tetapi jika makhluk bumi menang maka seluruh armada Scrubb angkat kaki dari bumi. Tidak disangka pada saat yang bersamaan Superman dan Muhammad Ali mengajukan diri kehadapan Rat’Lar, sang pemimpin Scrubb, untuk melawan Hun’Ya. Keduanya terlibat perdebatan sengit, Superman merasa dirinyalah makhluk terkuat di bumi, sementara Muhammad Ali mengatakan bahwa Superman bukanlah berasal dari bumi dan dianggap memiliki keuntungan tidak adil karena banyak dianugerahi kekuatan super. Rat’Lar akhirnya memutuskan Superman dan Ali harus bertarung untuk membuktikan siapa yang terkuat diantara keduanya, sebelum berhadapan dengan Hun’Ya. Agar berjalan fair play, Rat’Lar memerintahkan pertarungan keduanya harus di atas ring tinju serta dilangsungkan di Planet Bocade, tempat dimana ras Scrubb berasal. Planet ini memiliki matahari palsu yang sinarnya tidak bisa diserap Superman sebagai sumber kekuatan utamanya. Walhasil, di babak keempat Superman berhasil dibuat Knock Out (KO) oleh petinju yang memiliki nama lahir Cassius Marcellus Clay ini. Sehingga Ali-lah yang berhak mewakili bumi untuk menantang Hun’Ya.

Menariknya, pertarungan tersebut tidak hanya dilihat sebagai konten hiburan semata, namun terselip nilai-nilai kemanusiaan dan pesan moral di dalamnya. Dari kacamata politik, kita bisa melihat bahwa laga tersebut terasa sangat emosional bagi warga Paman Sam karena mengandung makna simbolik bagi ras Afro-American. Ali yang berkulit hitam digambarkan setara dengan superhero fiksi berkulit putih, Superman. Sudah seharusnya kaum kulit hitam mendapatkan perlakuan non-diskriminatif dari ras kulit putih. Bahkan diakhir episode keduanya saling berjabat tangan, dimana Ali berucap “Superman, We are the Greatest”. Sebuah pesan politik yang mendalam bagi perjuangan gerakan anti-rasisme di Amerika Serikat.

Dalam konteks politik banua hari ini, atmosfer yang sama juga bisa kita rasakan saat para kandidat masing-masing berusaha memenuhi segala persyaratan guna mendapatkan tiket sebagai peserta pilkada serentak 2020. Ada yang memilih jalur rekomendasi partai politik, namun tidak sedikit juga yang justru memilih melalui jalur perseorangan (independen). Tidak lama lagi, kita akan bersama-sama menyaksikan dan menjadi penentu siapa yang akan melenggang menjadi kepala daerah. Apakah kandidat yang didukung oleh partai politik. ataukah malah kandidat jalur perseorangan. Satu hal yang pasti, mereka akan mengeluarkan seluruh daya-upaya agar bisa memenangkan kompetisi elektoral dan berhak menjabat sebagai gubernur, bupati atau walikota.

Jauh sebelum hari kemenangan itu ditakdirkan menjadi milik siapa, kita dapat menyaksikan bagaimana kerja keras para kandidat di jalur independen mengumpulkan bukti dukungan dari para pemilih, agar dapat dinyatakan sah sebagai peserta pilkada oleh KPU. Persyaratannya tentu tidak mudah, misalnya untuk pilkada gubernur dan wakil gubernur dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai 2 juta, maka minimal dukungan yang harus dikantongi melalui surat pernyataan dukungan dan KTP pemilih harus 10 persen, dengan sebaran dukungan lebih dari 50 persen dari jumlah kabupaten/kota di provinsi tersebut. Jika provinsi itu memiliki jumlah DPT sebanyak 2-6 juta orang, maka syarat minimal dukungan sebesar sebanyak 8,5 persen. Sedangkan daerah yang memiliki DPT 6-12 juta orang, maka syarat minimal dukungan setidaknya mencapai 7,5 persen. Sementara itu, untuk pilkada bupati/walikota yang memiliki jumlah DPT 250 ribu orang, syarat minimal dukungan sebesar 10 persen. Jika daerah tersebut memiliki DPT 250-500 ribu orang, maka syarat minimal dukungan sebanyak 8,5 persen. Sedangkan daerah dengan DPT dari 500 ribu sampai dengan 1 juta maka syarat dukungannya minimal 7,5 persen.

Menariknya, alih-alih menyurutkan para kandidat yang memilih maju di jalur independen, sulitnya persyaratan tersebut justru berbanding terbalik dengan banyaknya peminat yang memilih maju di jalur independen. Kekuatan dominasi dan superioritas partai politik selama ini dalam menentukan kontestan pilkada, seolah menemukan titik balik sejak dibukanya kesempatan menjadi peserta dari jalur non-partai. Partai politik akhirnya menemukan lawan sepadan dalam berkompetisi memperebutkan kekuasaan eksekutif di daerah.

Berdasarkan keterangan yang disampaikan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik, saat ini tercatat 179 pasangan calon perseorangan yang telah mendaftar diri guna mengikuti verifikasi administrasi sebagai kontestan pilkada 2020 yang akan dilaksanakan di 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota secara serentak. Contoh kasus di Banua misalnya, terdapat total 15 pasang bakal calon yang mendaftarkan diri sebagai peserta dari jalur perseorangan. Kabupaten Hulu Sungai Tengah memiliki empat pasang calon, diikuti Kabupaten Banjar dengan tiga pasang calon, Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Kotabaru dan Kota Banjarmasin masing-masing terdapat dua pasang calon, serta Kabupaten Balangan dan Kota Banjarbaru masing-masing terdapat satu pasang calon.

Jika dianalisis lebih lanjut, besarnya animo para kandidat untuk maju di jalur independen ini dapat ditelaah dari beberapa perspektif. Pertama, dari sudut pandang behavioralis dalam melihat perilaku elit partai politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pimpinan partai di negeri ini rentan terjangkit virus oligarki. Pengelolaan partai di Indonesia menurut Vedi R. Hadiz, masih jauh dari karakter modern-demokratis. Partai politik seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendorong demokratisasi di negeri ini, bukan malah mengubur dan mengkhianatinya dengan berperilaku oligarkis. Perilaku oligarkis dalam tubuh partai politik ini memang sudah lama diramalkan oleh Robert Michels, sebagai “The Iron Law of Oligarchy” (Hukum Besi Oligarki). Michels mengatakan bahwa “organisasilah yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas pemilih, pemegang mandate atas pemberi mandat, utusan atas pengutus. Barang siapa berbicara tentang organisasi, ia berbicara tentang oligarki”. Oleh sebab itu, keputusan-keputusan strategis partai hanya ditentukan oleh pimpinan umum beserta segelintir “orang dalam” saja, sehingga tidak jarang corak kebijakan partai dirasa sangat elitis. Benar kirannya jika Dalam penentuan calon kepala daerah misalnya, yang berhak menetapkan bakal calon yang diusung, justru dilakukan pimpinan pusat parpol, bukan pengurus tingkat daerah. Padahal yang lebih mengetahui keinginan dan aspirasi masyarakat daerah justru pengurus parpol di daerah itu sendiri, bukan pihak dari “Jakarta”. Menjadi hal umrah memang jika kandidat-kandidat yang mendapatkan dukungan rekomendasi partai untuk berlaga di pilkada, hanyalah orang-orang yang memiliki “kedekatan personal” dengan pimpinan partai.

Perspektif kedua, kita bisa uraikan menggunakan pendekatan strukturalis. Dalam sebuah sistem politik, terdapat dua elemen yang memiliki peran strategis yakni suprastruktur politik dan infrastruktur politik. Keduanya harus saling bersinergi guna menghasilkan produk politik berupa kebijakan publik yang bermutu. Suprastruktur politik merupakan lembaga-lembaga negara seperti lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif (baik di tingkat pusat dan daerah) yang bertugas membuat, melaksanakan dan mengawasi kebijakan publik yang dibuat berjalan sesuai tujuan. Sementara itu, infrasruktur politik meliputi unsur-unsur kemasyarakatan seperti media massa, tokoh politik, kelompok penekan, kelompok kepentingan dan partai politik yang memperjuangkan kepentingan masyarakat arus bawah melalui perannya masing-masing.

Pada konteks ini, masih ada segelintir masyarakat kita yang “alergi” terhadap partai politik dan menganggap bahwa partai politik sebagai sumber masalah politik. Mereka berusaha untuk mengeliminir eksistensi partai dalam kehidupan infrastruktur politik, dan salah satu caranya adalah dengan menghindari keterlibatan partai politik dalam urusan pilkada, sehingga orang-orang ini lebih memilih berjuang di jalur independen. Diskursus untuk melenyapkan partai-partai pada dasarnya sudah sejak lama digelorakan oleh Bung Karno melalui pidatonya yang berjudul “Kuburkan Partai-Partai Politik” pada peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1956. Soekarno memang tidak pernah terkesan dengan model sistem politik versi barat, yang menjadikan partai politik sebagai anak emas demokrasi. Padahal menurut Bung Karno, banyak keluarga di Indonesia justru rentan berkonflik karena perbedaan orientasi partai politik. Sebagai solusinya, “Putra Sang Fajar” inipun menawarkan Golongan Fungsionil atau yang lebih populer dikenal dengan Golongan Karya sebagai alternatif dari partai politik.

Ketiga, dari sudut pandang fungsionalis. Salah satu titik lemah partai politik di Indonesia saat ini adalah kegagalannnya menjalankan fungsi-fungsi secara tuntas. Pendidikan politik, pengaturan konflik, komunikasi politik, rekrutmen politik, kaderisasi politik, hingga menjalankan fungsi politik-intermediary tidaklah pernah menjadi agenda pokok yang melekat pada rutinitas keseharian partai. Salah satu indikator sederhana dapat kita amati pada aktivitas kantor-kantor sekretariat partai yang lebih sering terlihat sepi. Geliat aktivitas sekretariat partai biasanya mulai terlihat saat menjelang pemilu saja. Diluar itu, sekretariat partai lebih mirip kantor yang tidak berpenghuni.

Disfungsi partai politik ini bisa menjadi tolak ukur bagaimana lemahnya kinerja partai politik. Jika kinerja partai politik tersebut lemah, tentu sangat berisiko bagi para kandidat jika terlalu mengandalkan mesin partai untuk memenangkan pilkada. Sehingga sebagian kandidat justru lebih memilih membangun mesin politik dari jaringan informal mereka seperti jaringan sanak famili, kolega, rekan bisnis, hingga teman sekolah masa lalu yang pada akhirnya membentuk tim sukses yang solid. Mesin politik informal seperti ini ternyata dalam beberapa kasus jauh lebih efektif, efisien dan militan ketimbang masin politik yang dimiliki oleh partai. Sehingga dalam konteks ini partai politik semakin kehilangan pamor dan pesonanya di mata para kandidat yang akan berlaga di pilkada.

Keempat, dari telaah pendekatan rational choice (pilihan rasional), kita bisa menemukan alibi mengapa mencoba peruntungan di jalur perseorangan lebih terlihat paling masuk akal dan paling menguntungkan bagi kandidat, baik dari segi waktu, tenaga maupun biaya yang harus dikeluarkan. Walaupun mekanisme pencalonannya memerlukan energi ekstra untuk mengumpulkan bukti dukungan rakyat, namun prosesnya terasa lebih transparan, kongkrit dan progres pencapaiannya lebih mudah diukur. Jika kandidat telah berhasil memenuhi syarat dukungan minimal yang telah ditetapkan oleh KPU, maka ”karpet merah” untuk menjadi kontestan pilkada sudah tersedia. Berbeda halnya dengan pencalonan melalui jalur partai, biasanya rekomendasi diberikan pada “menit-menit terakhir” sebelum pendaftaran peserta ditutup oleh KPU. Proses mendapatkan rekomendasi pun fluktuatif, ada yang berjalan alot dan adapula yang relatif mudah. Proses kandidasi melalui jalur partai penuh dengan relatifitas dan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik internal mereka. Selain itu, para kandidat juga harus memiliki kekuatan lobi dan kemampuan meyakinkan pimpinan partai, dimana kemampuan seperti itu belum tentu dimiliki oleh setiap pelamar. Belum lagi jika partai-partai tersebut harus berkoalisi agar syarat minimal pencalonan sebagai kontestan pilkada bisa dipenuhi. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya mempertemukan kata mufakat diantara partai-partai koalisi yang memiliki latar belakang dan kepentingan politik yang berbeda.

Dari keempat sudut pandang tadi, kita bisa menyimpulkan bahwa tingginya partisipan pilkada yang menggunakan jalur perseorangan pada pilkada langsung 2020 seharusnya disikapi serius oleh partai politik. Fenomena ini menjadi lonceng sebagai penanda agar partai politik perlu banyak berbenah dalam memperbaiki performanya jika tidak ingin eksistensinya tenggelam di arena pilkada. Jangan sampai pilkada justru menjadi ring tinju tempat dimana calon independen menghajar KO calon yang diusung partai politik, seperti laga seru antara Superman versus Muhammad Ali.

Penulis: Pathurrahman Kurnain
(Dosen FISIP ULM & Direktur GLORY Institute)

Helman

Uploader.

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *