Wacana ‘Impor’ Rektor Asing, Mampukah Tingkatkan Peringkat ?

Keberadaan rektor asing di perguruan tinggi Indonesia, seperti diwacanakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), tidak menjamin peningkatan peringkat perguruan tinggi Indonesia di dunia, ujar pengamat pendidikan.

Berdasakan lembaga pemeringkat perguruan tinggi dunia yang diacu Kemenristekdikti, QS World University Ranking, universitas yang diunggulkan pemerintah, yaitu Universitas Indonesia, berada di peringkat 296.

Universitas lainnya, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), berada di peringkat 300-an.

Posisi ini jauh di bawah sejumlah universitas lain di kawasan Asia, seperti di China, Hong Kong, Korea Selatan.

Menanggapi pro dan kontra di masyarakat, Kepala Biro Kerja Sama dan Komunkasi Publik Kemenristekdikti, Nada Marsudi, mengatakan pembenahan pengelolaan perguruan tinggi telah dilakukan terus menerus oleh pemerintah.

Sejumlah perguruan tinggi, ujarnya, juga terus memperbaiki kualitas. Buktinya, kata Nada, peringkat UI, UGM, dan ITB terus naik, namun belum bisa masuk ke 100 besar dunia.

Maka itu, Nada mengatakan kementerian mewacanakan untuk merekrut rektor asing yang berhasil di luar negeri dan dilihat unggul dalam hal berjejaring.

Rektor itu tidak akan sembarangan dipilih, ujarnya, tapi diseleksi ketat dan diberi target yang jelas.

“Kita bukan ingin ambil jalan pintas…Maksudnya di-challenged. Kalau ada rektor asing, mampu enggak perguruan tinggi Indonesia masuk dari 1-100? Sampai sekarang kan belum pernah (ada rektor asing),” ujarnya.

“Kita kan global, borderless, semua orang harusnya bersaing. Kenapa harus ketakutan banget, bagaikan katak dalam tempurung?”

‘Tidak ada solusi instan untuk meningkatkan peringkat’

Ariel Heryanto, Direktur Herb Feith Indonesian Engagement Centre, Universitas Monash, Australia, mengatakan tidak ada cara cepat untuk meningkatkan peringkat universitas Indonesia untuk sejajar dengan sejumlah negara lain di Asia.

“Pendidikan itu merupakan sebuah investasi besar-besaran berjangka-panjang. Yang perlu dibenahi berlapis-lapis dan banyak aspeknya. Tapi, menurut saya yang paling bertanggung-jawab, dan layak dibenahi adalah visi, strategi dan kebijakan negara di tingkat pusat,” kata Ariel.

Masalahnya, ia mengatakan, tidak banyak politikus yang berminat berinvestasi ke pendidikan.

Politik di Indonesia, ujar Ariel, menuntut hasil kerja yang serba instan, maka politikus yang punya visi jauh ke depan, misalnya untuk dua hingga tiga generasi mendatang di bidang pendidikan, bisa jadi dia dianggap tidak berprestasi.

Lebih lanjut, Ariel menyorot apa yang disebutnya sebagai ‘kegagalan negara’ untuk menghimpun warga yang berprestasi.

“Indonesia memiliki banyak orang cerdas. Mereka sudah terbukti unggul di tingkat dunia secara individual di banyak bidang. Juga di lembaga pendidikan: sebagai mahasiswa, dosen, atau peneliti. Tapi mereka tidak pernah terhimpun secara kelembagaan sebagai sebuah kekuataan raksasa nasional di tingkat dunia,” kata Ariel.

“Tidak ada yang mengikat mereka secara sukarela dan gembira. Absennya perhimpunan kelembagaan itu kelemahan utama Indonesia.”

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian, mengatakan daripada mengundang rektor asing, lebih baik pemerintah merekrut akademisi-akademisi Indonesia yang berkiprah di luar negeri.

“Sekarang kita ‘ambil’ saja lagi dengan diberikan insentif yang bagus,” ujarnya.

 

https://www.bbc.com/indonesia

 

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *