Pakar Jelaskan Alasan Banyak Orang Terobsesi Pakai FaceApp untuk Jadi Tua

FaceApp kini jadi aplikasi yang banyak digandrungi dan viral. Netizen beramai-ramai pamer wajah tua mereka di media sosial menggunakan foto editor ini.
Di samping kontroversi FaceApp tentang kerahasiaan data pribadi penggunanya, aplikasi berteknologi AI (artificial intelligence) ini masih tetap diminati berbagai kalangan. Kenapa banyak orang terobsesi dengan aplikasi yang mempunyai fitur pengubah wajah ini?
“Secara naluriah orang memang ingin tahu lebih banyak tentang diri mereka. Hidup itu penuh ketidakpastian, jadi bentuk umpan balik apapun yang bisa membantu kita memprediksi masa depan akan sangat berguna,” jelas psikolog dan profesor di Michigan State University William Chopik, seperti dikutip dari Business Insider.
Sebagian orang mungkin akan merasa ngeri atau terkejut saat melihat versi dirinya di 40 atau 50 tahun kemudian. Tapi menurut William, rata-rata mereka tidak menganggapnya sebagai hal serius.
“Secara psikologis, penampakan wajah tua mereka mungkin ditanggapi dengan bercandaan. Mereka berpikir, ‘Orang tua memang ada dan setiap orang akan menjadi tua suatu saat nanti, tapi lihatlah aku sekarang dan betapa berbedanya penampilanku,'” tutur psikolog spesialis kepribadian sosial ini.
Aplikasi FaceApp mungkin juga membuat orang berpikir bahwa menjadi tua dengan keriput dan kerutan di sana-sini tidak menarik dilihat, sehingga banyak orang mempertahankan wajah awet mudanya sebisa mungkin. Tapi menurut William ada pula dampak positifnya.
“Dalam hal lain, aplikasi ini membantu menormalkan fakta bahwa semua orang pasti menua, yang mana bisa mengurangi stigma terhadap para lansia,” kata William.
Selain itu melihat wajah sendiri saat sudah tua juga bisa memotivasi orang untuk menjaga kesehatannya agar ‘prediksi’ yang diperlihatkan FaceApp tidak benar-benar terjadi.
“Orang yang merasakan koneksi kuat dan lebih dekat dengan dirinya sendiri di masa depan lebih termotivasi berjuang agar tidak jadi seperti itu. Mereka jadi termotivasi untuk lebih banyak menabung dan olahraga,” ujar profesor psikologi Hal Hershfield, mengacu pada hasil penelitian yang ditulisnya pada 2011, dilansir Inverse.
https://wolipop.detik.com