Menyoal Petruk Jadi Raja di Negara Demokrasi

DUTA TV BANJARMASIN - Baru-baru ini Presiden Jokowi membeli sebuah lukisan dengan harga fantastis. Lukisan itu nantinya bakal dipajang di istana kepresidenan yang baru di Kalimantan Timur pada 2023. Walaupun tidak ada catatan resmi tentang harganya, namun Djoko Pekik sempat mengaku bahwa karyanya yang berjudul Petruk Jadi Ratu, Semar Kusirnya itu dilepas dengan harga miliaran rupiah.

Lukisan yang berukuran 5×2 meter itu menggambarkan Petruk tengah berjalan menyalami khalayak ramai yang sebagian dari mereka mengibarkan bendera merah putih. Terlihat juga para petani dan ibu-ibu yang menggendong anaknya. Diseberang jalan yang membelah kerumunan itu tampak orang-orang mengenakan dasi dan jas dengan latar gedung-gedung yang berjejer rapi. Dibelakang Petruk ada Semar yang sedang mengendalikan kereta kencana.

Lukisan mantan seniman Lekra (organisasi seniman underbouw PKI) yang pernah menjadi tahanan politik itu memang memiliki daya tarik tinggi. Selain artistik, lukisan ini mengandung simbol, makna, satire serta hikmah mendalam tentang bagaimana cara menjalankan pemerintahan serta mengelola negara. Apalagi tema lukisan ini terinspirasi dari lakon Petruk Dadi Ratu yang sangat masyhur dalam dunia pewayangan. Sehingga wajar lukisan tersebut mengundang beragam penafsiran dari politisi, pengamat politik, akademisi maupun budayawan/seniman. Tulisan-tulisan yang mengupas cerita inipun cukup banyak, sebut saja misalnya Benedict Anderson (2000) dalam Petrus Dadi Ratu. Paul Strange (2008) dalam Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara (2013) dalam Petruk Dadi Ratu: Polah-tingkah Penguasa yang Tidak Mampu. Sri Bintang Pamungkas (2014) dalam Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara. Termasuk Denys Lombard (2018) dalam Nusa Jawa Silang Budaya.

Berita Lainnya

Tidak hanya itu, politisi Gerindra, Fadli Zon misalnya, pernah mengangkat lakon ini sebagai sindiran kepada pemimpin yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas sehingga membuat kondisi negara jungkir-balik, semakin kacau karena tindak-tanduknya “aneh-aneh” dan keluar dari pakem. Sementara itu dalam tafsiran yang positif, Petruk dianggap sebagai spirit dari rakyat kecil yang berupaya untuk mengubah keadaan, keluar dari mandek-nya kehidupan bernegara serta berhasil meruntuhkan tembok kekuasaan yang selama ini dimonopoli oleh oligarki. Artinya masih terbuka jalan bagi orang biasa untuk menjadi pemimpin dan berbuat sesuatu bagi negaranya meskipun bukan berasal dari kalangan elit kekuasaan.

Dikisahkan, kondisi dunia pewayangan saat itu tengah dilanda huru-hara akibat pertikaian hebat antara Bambang Priyambada dan Dewi Mustakaweni. Dalam kondisi tak menentu itulah Priyambada yang berhasil mendapatkan Jimat Kalimasada kemudian menitipkannya kepada Petruk, abdinya yang setia untuk disimpan ditempat yang aman. Namun tak disangka ternyata Petruk malah menggunakannya untuk meraih kekuasaan dan menjadi raja dengan gelar Prabu Kantong Bolong Belgeduwebleh Tongtongsot. Petruk yang sejatinya adalah rakyat jelata dianggap tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi raja. Sehingga Petruk memerintah dengan “seenak-perutnya” hingga tatanan dunia pewayangan menjadi centang-perenang.

Para raja, bangsawan maupun ksatria dari negeri Astina, Amarta dan Dwarawati tidak tinggal diam menyaksikan hal ini. Mereka yang sebelumnya saling berseteru akhirnya bersatu-padu menghentikan sepak-terjang Prabu Kantong Bolong. Namun ternyata justru dikalahkan oleh Petruk yang memiliki kekuatan tak tertandingi karena Jimat Kalimasada tersebut. Akhirnya Petruk berhasil ditundukkan Semar yang menyamar menjadi salah satu punggawa istananya. Prabu Belgeduwelbeh kembali menjadi wong cilik, punakawan yang kocak bersama Gareng, Bagong dan Semar. Konstelasi dunia pewayangan kembali stabil setelah jimat dan tampuk kuasa kerajaan diserahkan kepada yang berhak.

Terlepas dari beragam pemaknaan sosok Petruk pada lakon tersebut, bagi saya daya tarik ceritanya justru terletak pada sumber kekuatan Petruk dalam meraih kuasa. Tanpa Jimat Kalimasada Petruk tidak akan tergoda menjadi raja. Melalui azimat itu Petruk mampu bertahta di singgasana raja, bahkan memiliki kesaktian tiada tanding. Inilah penyebab Jimat Kalimasada menjadi buruan tokoh-tokoh pewayangan.

Jimat Kalimasada tak ubahnya seperti “Legitimasi Politik” dalam negara demokrasi modern. Legitimasi merupakan wujud penerimaan dan pengakuan rakyat terhadap pemimpin dalam menjalankan kuasa. Legitimasi yang kuat mampu menjaga stabilitas politik dan menghindarkan aksi-aksi pembangkangan. Siapapun yang mampu memperoleh legitimasi politik rakyat, maka dia berhak untuk menduduki jabatan politik dan menjalankan roda pemerintahan. Oleh karenanya calon-calon pemimpin akan berupaya semaksimal mungkin mendapatkan legitimasi rakyatnya. Perebutan legitimasi ini memang secara legal-prosedural telah diatur melalui mekanisme pemilu. Namun disayangkan, para elit politik justru malah menganggap pemilu sebagai satu-satunya piranti guna mendapatkan legitimasi kekuasaan.

Akibatnya perhatian elit hanya berfokus untuk memenangkan pemilu, bagaimanapun caranya, entah itu dengan berbuat curang. Terserah rakyat mau memahami esensi pemilu atau tidak, melek politik atau tidak, yang penting mereka bisa mendulang suara rakyat sebanyak-banyaknya, walaupun harus “membelinya”. Sehingga banalitas politik sudah menjadi tontonan yang tidak terhindarkan saat ini. Padahal sejatinya, legitimasi politik sangat berhubungan erat dengan Political Trust (Kepercayaan Politik) dari rakyatnya. Legitimasi politik perlu dibangun secara gradual, bukan dengan cara-cara yang instan, manipulatif, apalagi disertai paksaan maupun tindakan intimidatif. Apa gunanya memenangi pemilu bila kepercayaan dan dukungan rakyat sebenarnya semu sekaligus hampa. Biarkan legitimasi politik itu mengakar, tumbuh dan berkembang bersama rakyat secara alami seiring dengan kebajikan-kebajikan politik yang ditanamkan oleh politisi itu sendiri. Sebab pada hakikatnya legitimasi politik rakyat itu harus dibangun, bukan dirampas. Sehingga yang lebih mendesak dibutuhkan saat ini adalah bagaimana caranya memenangkan legitimasi politik rakyat, bukan sekadar memenangi kontestasi pemilu semata.

Oleh: Pathurrahman Kurnain
(Dosen FISIP ULM & Direktur GLORY Institute)

Helman

Uploader.

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *