Menebar Senyum, Menuai Simpati (Musim Pilkada & Senyum Ala Mona Lisa)

DUTA TV BANJARMASIN – Orang bijak berkata: “senyum adalah media paling murah dan mudah dalam membangun hubungan”. Pendapat tersebut benar adanya, namun ada kalanya perkara senyum itu justru urusan yang pelik sekaligus mahal, seperti senyuman Mona Lisa. Bagi para kolektor seni, mahakarya pelukis agung Leonardo Da Vinci itu memang layak dihargai fantastis. Tidak kepalang-tanggung, harga lukisan legendaris itu dikabarkan telah mencapai angka 750 juta USD atau setara 9,8 triliun rupiah. Lukisan yang saat ini menjadi koleksi paling prestisius Museum Louvre di Paris ini membutuhkan sistem pengaturan cuaca khusus, dipajang dalam sebuah kotak kaca anti peluru dengan sistem pengamanan super ketat. Biaya untuk membangun ruang pajang lukisan ini bahkan menghabiskan anggaran hingga 7 juta USSD (91 miliar rupiah). Bisa kita bayangkan sendiri bagaimana rumitnya merawat dan menjaga keamanan lukisan Mona Lisa yang mempesona.

Greatest portrait of all time, begitulah para seniman menjuluki lukisan Mona Lisa yang dalam Bahasa Italia diartikan sebagai ”My Lady Lisa”. Masterpiece ini lahir dari tangan dingin seorang Polymath ulung, yakni ilmuwan (filsafat, matematika, sejarah, teknik, anatomi, geologi, astronomi, botani, dan kartografi) cum seniman (pelukis dan pematung). Sehingga tidak salah jika karya-karya Da Vinci selalu mengundang decak kagum dan rasa penasaran mendalam dari berbagai kalangan seperti ilmuwan, peneliti, seniman & penikmat seni, kaum bangsawan hingga politisi.

Sejak 500 tahun yang lalu hingga saat ini, para ahli masih saja terus merasa tertantang dalam mengungkap aneka misteri seputar lukisan Mona Lisa. Misalnya seperti siapa sebenarnya yang menjadi model lukisan itu? Apakah ia memang pernah hidup di era itu, atau hanyalah sosok fantasi Da Vinci belaka, ataukah model tersebut adalah ibu kandungnya, atau malah justru Da Vinci melukis wajahnya sendiri? Pertanyaan selanjutnya, apakah Mona Lisa benar-benar seorang perempuan, setengah perempuan atau justru sebenarnya adalah laki-laki? Kemudian ada juga mempertanyakan mengapa alisnya sangat tipis dan tidak terlihat bulu matanya, apakah ini memiliki tujuan tertentu? Sebab pada zaman itu para pelukis sangat detail dan presisi dalam membuat lukisannya, terlebih karya-karya yang dibuat si jenius Da Vinci.

Diantara berbagai teka-teki dari lukisan tersebut, terdapat satu hal yang paling banyak menarik perhatian para peneliti, yakni soal senyuman misterius Mona Lisa. Jika diperhatikan secara sekilas, tampilan Mona Lisa yang tersenyum justru berbanding terbalik dengan ekspresi mata sayunya yang terlihat menyimpan kesedihan. Beberapa ilmuwan menjelaskan bahwa senyuman itu hanyalah merupakan ilusi optik, dimana Mona Lisa sebenarnya sedang pura-pura tersenyum namun emosi sebenarnya justru tengah diselimuti ketakutan dan kemarahan. Ada juga yang mempersoalkan mengapa senyuman Mona Lisa terlihat asimetris, dimana tarikan bibir kirinya lebih mengarah ke atas pipi dan juga bahkan bisa berubah-ubah sesuai sudut pandang.

Tim ilmuwan dari Universitas Amsterdam dan Universitas Illinois di tahun 2005 telah melakukan riset tentang senyuman Mona Lisa ini. Menggunakan metode analisis software komputer, mereka mencoba mengungkap rahasia emosi yang terkandung dalam senyuman tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa senyum Mona Lisa mengandung 83% bahagia, 9% kekejian, 6% rasa takut dan 2% rasa marah. Penelitian terbaru di tahun 2019 yang dilakukan kelompok scientist dan pakar ahli saraf di University of Cincinnati (UC) dalam website resmi mereka telah menyimpulkan bahwa senyum Mona Lisa adalah palsu. Mereka menjelaskan bahwa berdasarkan teori emosi neuropsikologi, senyuman itu sering muncul saat subjek diketahui berbohong. Aktivitas otot wajah Mona Lisa tidak terlihat, dimana senyum asli pada orang normal biasanya melibatkan bagian pipi yang naik dan otot mata yang berkontraksi.

Senyuman Mona Lisa memang sangat mempesona siapapun sejak separuh milenium silam. Menurut pengakuan petugas museum, lukisan ini merupakan koleksi yang paling diminati oleh pengunjung. Berdasarkan catatan sejarah panjangnya, sebelum dipajang di Louvre, Napoleon pernah menyimpannya di kamar tidur agar bisa dipandangi tiap malam. Bahkan, beberapa orang rela mati demi senyum misterius Mona Lisa. Luc Maspero contohnya, melompat dari gedung lantai empat sebelum akhirnya ditemukan tewas dengan sepucuk surat yang berbunyi “Selama bertahun-tahun aku telah bergulat dengan senyumnya, lebih baik aku mati”. Kemudian di tahun 1910, diketahui ada lagi lelaki yang bunuh diri dengan menggunakan pistol karena tidak kuat melihat senyuman Mona Lisa.

Fenomena yang terdapat pada lukisan Mona Lisa sebenarnya bisa kita tarik relevansinya dengan dunia politik kita hari ini di banua, khususnya pada saat memasuki musim pilkada. Disadari atau tidak, di beberapa lokasi kita mulai menjumpai para bakal calon yang memajang foto mereka di baliho-baliho dengan berbagai pose maupun embel-embel ucapan tertentu hingga permohonan doa restu. Walaupun terlihat beragam, namun terdapat satu kesamaan pola yakni semuanya selalu memasang raut wajah tersenyum. Dari perspektif semiotika, senyuman para kandidat yang akan berlaga di pilkada itu merupakan sistem tanda yang dimaknai sebagai upaya melakukan komunikasi antara kandidat dengan pemilih. Motifnya-pun bervariasi, mulai dari keinginan untuk membangun kedekatan antara kandidat dengan calon konstituen, membangun pencitraan maupun kepercayaan sebagai orang yang baik, ramah dan hangat, hingga menciptakan daya pikat untuk menarik simpati para pemilih.

Disadari atau tidak, para kandidat yang memajang foto senyum sebenarnya telah menjadi komunikator politik. Sebagai seorang komunikator politik, kita selaku rakyat pemilik mandat kekuasaan tentu tidak menginginkan para kandidat hanya mengandalkan senyum-sumringah mereka, seolah-olah hanya itulah yang bisa mereka andalkan dalam menyampaikan pesan-pesan politik. Cukup letakkan foto-foto senyuman mereka di area pemukiman dan simpul-simpul aktivitas warga, maka kewajiban untuk membangun komunikasi politik dengan para pemilih dianggap telah selesai. Lebih dari itu, para kandidat haruslah menjadi sumber informasi politik agar rakyat mendapat banyak pengetahuan sekaligus pencerahan politik. Selanjutnya para komunikator politik ini hendaknya mampu mempengaruhi opini publik agar bersepakat dan bersedia dengan sukarela mengikuti ide maupun gagasan-gagasan politik para kandidat. Sehingga hiruk-pikuk pilkada akan diramaikan oleh kompetisi ide serta adu argumentasi berbasis fakta dan data valid. Bukan malah sebaliknya, hanya diramaikan oleh sampah visual akibat senyum mereka yang bertebaran di baliho, spanduk dan poster-poster yang terkadang justru pemasangannya banyak melanggar aturan dan merusak estetika pemandangan. Oleh sebab itu, kemampuan berkomunikasi yang baik serta memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang politik menjadi prasyarat penting yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebelum mereka memutuskan menjadi politisi dan berlaga di arena pilkada.

The last but not least, sebagai insan politik yang berakal sehat, tidak elok rasanya jika kita memilih kepala daerah seperti “Membeli Kucing dalam Karung” atau bahkan justru ditentukan oleh pertimbangan tampilan visual belaka. Hanya karena calon tersebut memiliki foto senyuman paling manis, senyuman paling sumringah, senyum dengan bibir paling merekah, dan seterusnya, maka sekonyong-konyong akan kita pilih. Memang tidak salah jika para kandidat mulai banyak menebar senyum manis menjelang pilkada, namun kita sebaiknya tidak perlu merasa terpesona, apalagi merasa tersanjung dengan gimik yang mereka mainkan. Saat ini kita justru lebih membutuhkan penajaman sense of inquiry terhadap misteri dibalik senyuman para calon kepala daerah tersebut. Misalnya seperti adanya keinginan yang kuat untuk mengetahui profil kandidat, visi-misi, program kerja, gagasan yang dibawa hingga solusi yang ditawarkan atas permasalahan-permasalahan yang kita hadapi di banua. Dari situ kita dapat mengukur kapabilitas dan kompetensi dari masing-masing kandidat sebagai bahan pertimbangan dalam memilih kepala daerah. Sehingga tidak ada lagi misteri yang tersembunyi di balik senyuman para kandidat. Bukankah hal ini persis seperti apa yang dilakukan para peneliti dan para ahli guna mengungkap misteri senyuman Mona Lisa. Singkatnya, jika para kandidat hanya mengandalkan senyuman manis guna mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat dalam pilkada, sekelas Petruk-pun mampu untuk melakukannya.

Penulis: Pathurrahman Kurnain
(Dosen FISIP ULM & Direktur GLORY Institute)

Helman

Uploader.

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *