Aturan Baru Crowd Funding untuk UMKM

Jakarta, DUTA TV — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan aturan baru terkait urun dana atau crowd funding. Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengatakan itu dibuat karena aturan yang ada saat ini kurang mengakomodir usaha kecil menengah (UKM) mencari pembiayaan di luar modal.

“Sedang dipersiapkan crowd funding yang tidak hanya permodalan tapi bergeraknya di bidang pembiayaan. Kalau yang ada kan sekarang kan equity crowd funding cuma permodalan,” ucapnya dalam video conference, Senin (7/12).

Dengan aturan baru nantinya jenis efek yang ditawarkan tak hanya dalam bentuk saham, melainkan bisa juga berupa surat utang dan sukuk.

“Karena ternyata kami lihat, diskusi, yang dibutuhkan UMKM di daerah itu bukan hanya modal tapi pembiayaan. Kadang-kadang mereka terima order bisa dikerjakan hanya dua bulan pinjam tiga bulan setelah itu dikembalikan. Ini bukan modal tapi modal kerja,” imbuhnya.

Menurut Tirta, equity crowd funding  yang diatur dalam POJK Nomor 37/POJK.04/2018 terbilang hal yang cukup baru di Indonesia.

Tak heran sejak aturan tersebut dirilis, hingga saat ini baru ada 111 ‘emiten’ yang menggunakan equity crowd funding sebagai alat untuk mencari modal dengan emisi yang hanya sekitar Rp50 miliar.

Kendati demikian, pada dasarnya equity crowd funding sendiri hampir sama dengan investasi di pasar modal. Ada penerbit (perusahaan yang menawarkan saham perusahaannya), penyelenggara layanan urun dana, dan pemodal (investor).

Perbedaannya, penawaran saham dengan sistem ECF dilakukan oleh penerbit untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui sistem elektronik secara online.

Pihak yang diberikan kucuran dana atau selanjutnya disebut penerbit adalah perusahaan rintisan maupun UKM dengan jumlah modal tidak lebih dari Rp30 miliar dan bukan merupakan perusahaan terbuka. Di sini lah menurut Tirta, persoalan muncul.

“Di beberapa tempat dan situasi tertentu tak semua pengusaha UKM punya gawai dan mampu lakukan transaksi digital,” tuturnya.

Masalah lainnya, penerbit juga harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan bukan perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh suatu kelompok usaha atau konglomerasi. Padahal tak semua UKM berbentuk PT.(cnn)

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *