Kemana Ibu Kota Negara Akan Dipindah?

Setelah cukup lama timbul tenggelam, rencana pemerintah Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara kembali mengemuka. Kabar yang datang pasca rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo (jokowi) di Kantor Presiden, Jakarta, pada Senin (29/04/2019) inipun dengan cepat ‘disambar’ sejumlah media untuk dijadikan headline, di tengah gegap gempita pemilu 2019 yang masih berjalan.

Tiga pilihan dikemukakan dalam rapat, yaitu:

1. Ibu kota tetap di Jakarta

2. Ibu kota berada di sekitar Jakarta

3. Ibu kota pindah ke luar jawa

Sebagaimana diketahui, rencana pemindahan ibu kota negara termasuk pemerintahan, mengemuka seiring pertimbangan bahwa kapasitas Jakarta yang beberapa tahun ke depan diperkirakan tidak dapat lagi mampu menampung konsentrasi dan berbagai aspek kegiatan penduduknya.

Jika dibiarkan, dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, muncul kekhawatiran akan terjadi ledakan beban penduduk di Jakarta. Beban datang dari berbagai aspek yang ujungnya jelas membuat Jakarta tak lagi representatif sebagai ibukota.

Sebelumnya, rencana dan gagasan lengkap dengan berbagai presektif yang dikemukakan, sebenarnya sudah muncul sejak era Presiden Soekarno. Dari isu yang berkembang kala itu, setidaknya ada tiga alasan perlunya pemindahan ibukota. Pertama, alasan untuk memisahkan aktivitas Politik dan Ekonomi. Kedua, alasan pendudukan negara lain, atau dalam keadaan darurat, ketiga, memang hendak membuat Pembangunan ibukota baru. Namun rencana tersebut tenggelam seiring waktu.

Rencana pemindahan ibu kota juga sempat muncul di era pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhono di 2010. Namun sekali lagi, rencana dan gagasan tinggal wacana.

Di pemerintahan jokowi, sebelum rapat terbatas awal di akhir april kemarin, pada 2017 lalu, Presiden Jokowi juga telah mengangkat isu dan rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta. Bahkan rencana sampai pada titik pemilihan Salah satu kota tujuan alternatif dari sekian opsi yang dipilih yakni Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Tak Hanya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas yang disibukkan dengan kajian pemindahan, sejumlah kaum Cendikia bahkan perlu duduk bersama untuk membuat berbagai rumusan yang dinilai bisa menjadi bahan pertimbangan dari berbagai aspek dan sudut pandang.

Salah Satunya rumusan yang cukup komprehensif datang dari hasil seminar di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang dilaksanakan beberapa waktu lalu.  Dalam rumusan hasil seminar yang menghadirkan para pakar dibidangnya, mengerucut sejumlah rekomendasi untuk rencana pemindahan ibukota.

Pertama, pemilihan calon ibu kota baru harus memperhatikan aspek fisik, yang akan mempengaruhi keberadaan risiko bencana yang akan terjadi. Syarat fisik yang dimaksud tercermin pada karakteristik morfologi, material, dan proses. Artinya, calon ibu kota baru tidak boleh berada pada daerah rawan berebagai bencana alam mulai dari gempa bumi, banjir, tsunami, dan longsor hingga ancaman letusan gunung merapi dan kebakaran.

Kedua, aspek kependudukan. Lokasi baru harus berada di derah dengan jumlah penduduk dan kepadatan yang masih minim. Karena lokasi yang baru akan langsung menerima migrasi aparuts sipil Negara yang jumlahnya dipastikan tidak sedikit. Aspek ini juga penting mengingat efek migrasi masuk yang akan muncul, karena akan menjadi daya tarik baru orang akan masuk ke wilayah ini. Disisi lain, efek migrasi akan memunculkan masalah marginalisasi penduduk lokal dan konflik sosial. oleh karena itu, calon ibu kota baru harus berlokasi di wilayah dengan heterogenitas masyarakat yang tinggi, sebagai antisipasi munculnya konflik antara pendatang dan penduduk local.

Ketiga, aspek aksesibilitas.  Aspek ini juga wajib menjadi pertimbangan untuk memudahkan interaksi antara fungsi pemerintahan dengan fungsi perekonomian. jika harapan adanya ibu kota baru akan memunculkan pusat kegiatan baru, maka ibu kota baru harus berdekatan dengan kawasan pesisir dan laut strategis. Terakhir, proses pemidahan ibu kota baru harus pula mempertimbangkan aspek historis wilayah nusantara.

Berdasarkan parameter diatas, secara fisik, lokasi yang dimaksud secara tidak langsung mengeliminir pulau sumatera bagian barat, jawa bagian selatan dan tengah, nusa tenggara, dan juga maluku. Lokasi yang tepat adalah di pulau kalimantan, tetapi bukan di lahan gambut.

Jika mempertimbangkan aspek kependudukan dan sosial budaya, maka kota dengan kepadatan yang rendah di kalimantan menjadi sangat tepat. selain itu pertimbangan potensi konflik sosial-budaya, maka wilayah-wilayah di kalimantan selatan dan kalimantan timur dinilai lebih heterogen masyarakatnya.

Kemudian, secara geostrategi, lokasi ibu kota baru juga dapat berada di sekitar pesisir Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur, dan secara morfologi laut dapat diakses oleh kapal dengan skala muatan besar.

Kita tunggu daerah mana yang akan terpilih menjadi ibu kota negara, atau justru rencana akan kembali jadi wacana.

 

Tim Liputan

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *