Buruh : Penyusun Perppu Ciptaker Tak Paham Masalah
Jakarta, DUTA TV — Presiden Partai Buruh Said Iqbal menuding penyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) tidak paham masalah dan penyusunannya kejar tayang.
Ada dua poin utama yang disorot Iqbal. Pertama, persoalan libur kerja yang paling sedikit sehari dalam seminggu, menghapuskan aturan sebelumnya di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pekerja diberikan waktu istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam seminggu dan 2 hari untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
Kedua, soal redaksional dalam penjelasan uang pesangon yang diterima buruh jika terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kecerobohan pembuat perppu inilah yang mengakibatkan pemerintah dipermalukan karena ada kontradiktif pasal sebelumnya yang mengatur jam kerja dan pasal selanjutnya yang mengatur waktu istirahat atau yang kita kenal cuti dalam satu tahun,” katanya dalam konferensi pers virtual, Senin (2/1).
Iqbal menyebut dalam UU Ketenagakerjaan, UU Ciptaker, dan Perppu Ciptaker dijelaskan istirahat mingguan terbagi dua tergantung hari kerja.
Dalam pasal 77 ayat 2 disebutkan maksimal jam kerja dalam seminggu adalah 40 jam, di mana jika 6 hari kerja maka per hari buruh bekerja 7 jam dan untuk 5 hari kerja maka buruh bekerja 8 jam per hari.
Namun, penjelasan lanjutan di pasal 79 ayat 2 UU Ciptaker kontradiktif karena menyebut waktu libur mingguan pekerja hanya sehari untuk enam hari kerja. Kekeliruan tersebut berlanjut di pasal 79 ayat 2 Perppu Ciptaker dengan redaksi yang sama persis.
“Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu,” tulis pasal tersebut.
Iqbal menegaskan aturan satu hari libur dalam sepekan itu tidak nyambung antara pasal yang menyatakan cuti dan jam kerja. Oleh karena itu, Partai Buruh dan organisasi serikat buruh lain menuntut pasal tersebut dicabut.
Terkait poin kedua, Iqbal menegaskan aturan pesangon harus sama dengan isi UU Ketenagakerjaan di mana diberikan “sekurang-kurangnya”, dengan batas maksimal 8 tahun masa kerja mendapat pesangon 9 bulan upah.
Redaksi “sekurang-kurangnya” memungkinkan perusahaan dan karyawan melakukan negosiasi besaran pesangon yang bisa mencapai dua hingga tiga kali lebih besar daripada yang diatur UU Ketenagakerjaan.
Di lain sisi, Iqbal menduga Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tidak dilibatkan dalam pembuatan Perppu Cipta Kerja ini. Ia lantang mengatakan bahwa Kemenko Perekonomian adalah pihak yang harus bertanggung jawab.(cnni)