Menanti Kapal Nabi Nuh dalam Pilkada

BANJARMASIN – “Manusia boleh berencana, tapi saldo juga yang menentukan”. Jika pernah mendengar kredo tersebut, apa yang terlintas dalam pikiran anda? Sebagai pengamat politik saya tentu merasa itu sebuah satire yang merefleksikan fenomena kehidupan politik kita hari ini. Saban memasuki tahun politik seperti pilkada, geliat elektoral semakin kuat terasa. Elit partai politik sudah mulai kasak-kusuk memadu-padankan nama-nama yang nantinya akan menghiasi bursa para kandidat yang akan berlaga. Termasuk siapa yang paling berhak untuk menerima surat rekomendasi dari partai politik. Sekilas, perkara mendapatkan dukungan partai sebagai “Perahu Politik” memang terlihat seperti memandang rumput tetangga yang lebih hijau. Namun sebenarnya persoalan mengerucutkan nama-nama kandidat hingga akhirnya menyisakan finalisasi nama yang diusung oleh partai politik tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Prosesnya pun pelik, seolah menyusuri lorong labirin yang dipenuh jalan buntu dan menyesatkan.

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak pernah dijelaskan bagaimana mekanisme kandidasi di panggung belakang berlangsung, mengapa nama kandidat itu akhirnya dimunculkan, apa saja kriterianya, bagaimana kriteria itu ditetapkan, bagaimana pengukuran kriterianya, dan lain sebagainya. Sehingga tidak berlebihan kiranya di tengah ritus serba ketertutupan ini para kritikus politik menyebutnya sebagai “a smoke filled-room democracy”, dimana dalam proses pengambilan keputusan partai lebih cenderung elitis, lobi tingkat tinggi, penuh intrik, samar-samar hingga bersifat klandestin. Rakyat hanya disuguhi sajian menu “paketan” yang semua bahan, bumbu hingga proses memasaknya hanya pihak dapur partai politik yang mengetahuinya. Tiba-tiba saja nama yang direkomendasikan partai muncul di detik-detik akhir masa pendaftaran peserta pilkada. Rakyat hanya bisa menunggu apakah prediksinya terbukti atau tidak, tentu dengan berbagai spekulasi yang mendahuluinya.

Lebih menyesakkan lagi tidak jarang ditemui munculnya suara-suara sumbang dari pihak-pihak yang urung mendapatkan Perahu Politik. Mereka menuding bahwa kegagalannya mendapat dukungan partai politik lebih didasarkan karena kendala klasik, yakni fulus yang tidak memenuhi ambang batas minimal Mahar Politik yang ditetapkan oknum partai. Sebagai contoh, di tahun 2018 santer terdengar pengakuan La Nyalla Matalitti, dimana dirinya pernah dimintai mahar politik sebesar 40 miliar oleh Gerindra agar diusung menjadi calon gubernur pada pilkada Gubernur Jawa Timur 2018. Karena tidak siap memenuhinya, La Nyalla kemudian mengundurkan diri dari panggung pilkada. Walaupun pada akhirnya hal ini diklarifikasi pihak Gerindra bahwa biaya itu sebenarnya untuk honor saksi-saksi di tiap TPS, termasuk biaya pelatihannya serta logistik kampanye.

Kita juga sempat terkesiap menemukan tudingan yang dilontarkan Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief melalui akun twitter-nya, kepada Sandiaga Uno saat dipilih Prabowo sebagai calon wakil presidennya di tahun 2019. Tuduhan itu menyebutkan bahwa Sandiaga Uno membayar 1 miliar rupiah kepada dua partai politik yakni PAN dan PKS yang masing-masing mendapatkan 500 miliar rupiah untuk memuluskan langkahnya itu. Bahkan tidak hanya dalam kasus pilkada atau pemilihan presiden saja persoalan mahar politik ini marak. Dalam konstelasi pasca-pemilu pun juga urusan mahar politik masih tetap eksis. Seperti halnya yang ditemui oleh Ketua Umum PPP versi Muktamar Humprey Djemat, dimana ia menyebut ada partai politik yang meminta mahar politik (bahasa halusnya: kontribusi) kepada seorang calon menteri kabinet Jokowi-Amin yang berasal dari kalangan profesional sebesar 500 miliar rupiah. Karena menolak, maka calon tersebut akhirnya gagal menjadi menteri.

Beberapa contoh kasus di atas hanyalah fenomena “gunung es” yang sedikit tersingkap ke permukaan, sementara di bagian bawahnya diyakini jauh lebih besar. Hal ini diperkuat dengan hasil Riset Potensi Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada 2018 yang dilakukan KPK di tahun 2018. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 20 responden yang mengaku membayar mahar kepada partai politik dengan jumlah berkisar antara 50-500 juta per kursi anggota dewan. Pada tahun 2016, KPK juga merilis temuan riset yang melibatkan 286 peserta di 259 tempat berbeda. Hasilnya membeberkan bahwa calon walikota atau bupati rata-rata mengeluarkan 20-30 miliar rupiah dan calon gubernur mengeluarkan sekitar 100 miliar rupiah untuk ongkos politik. KPK juga mengakui bahwa terdapat pengeluaran yang tidak dilaporkan peserta pilkada ke KPU yakni mahar politik.

Praktik mahar politik berbalut oportunisme ini laksana luapan air bah yang siap menenggelamkan peradaban demokrasi kita. Partai politik perlu segera berbenah dan tampil di barisan depan dalam menunjukkan kebajikan yang selama ini diragukan banyak kalangan. Partai politik jangan lagi sekadar menyediakan perahu politik bagi segelintir elit berduit yang ingin berlaga dalam pilkada. Tetapi lebih dari itu, partai politik harus mampu menjadi “Kapal Nabi Nuh” yang memiliki daya tampung raksasa. Ini dibutuhkan guna mengakomodir berbagai golongan dan kelas sosial di masyarakat, termasuk menjalankan fungsi agregasi serta artikulasi kepentingan-kepentingan rakyat yang kerap gagal dilakukan partai politik. Demi keberlangsungan masa depan demokrasi, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki sengkarut keadaan ini. Spirit kapal Nabi Nuh yang berukuran besar itu juga diharapkan mampu mendorong transformasi revolusioner karakteristik elit partai. Dari berpikiran picik dan bertindak oportunis berubah menjadi berpikir besar, bertindak besar dan berjiwa besar. Sosok pemimpin partai seperti inilah yang telah lama dinantikan, layaknya sosok the founding fathers, sosok pemikir sekaligus pejuang.

Sebagaimana diketahui, Kapal Nabi Nuh bukanlah kapal pesiar yang glamor nan mewah, namun justru mewujud bahtera yang memiliki struktur rancang sederhana namun fungsional. Belajar dari sini, pimpinan partai politik juga seharusnya mampu menjauhkan gaya hidup hedonistik-materialistis yang selama ini turut mewarnai sekaligus mencoreng wajah partai. Satu-satunya kemewahan terakhir yang layak dimiliki elit partai cukup sebatas konsistensi mengamalkan idealisme partai, tidak lebih dari itu. Fungsionalitas Kapal Nabi Nuh juga telah membuktikan bagaimana bahtera itu mampu mengangkut banyak kehidupan (manusia, hewan dan tumbuhan) serta memastikan kehidupan itu terus berlangsung walaupun seluruh daratan tenggelam dalam waktu yang lama. Pekerjaan rumah bagi elit politik saat ini adalah memastikan partai mereka menjalankan berbagai fungsinya seperti pendidikan politik, komunikasi politik, rekruitmen politik, partisipasi politik, kontrol politik hingga pengaturan konflik secara optimal guna memastikan kehidupan berdemorkasi tetap bertahan di tengah gempuran ombak pragmatisme politik yang semakin meraja-lela.

Mengingat begitu brutalnya praktik mahar politik ini, maka kita semua perlu memanjatkan doa agar segenap elit politik tanah air mendapatkan “hidayah”. Hidayah itu diperlukan sebagai pelecut untuk mendorong titik balik peradaban politik kita menuju arah yang lebih baik. Salah satu tanda perbaikan ini ditentukan dari eliminasi karakter pemburu rente dari partai-partai dalam pilkada. Tiket perahu politik yang diberikan partai kepada kandidat bukan lagi berdasarkan mahar, namun berdasarkan merit sistem dan politik gagasan yang ditawarkan masing-masing kandidat.

Memang harus diakui, sangat sulit untuk membuktikan praktik mahar politik yang terus berlangsung hingga saat ini. Ibarat kentut, baunya tercium tapi wujudnya tidak terlihat, sehingga sukar dibuktikan dan dicari pelakunya. Walaupun begitu, kondisi ini tidak boleh terus dibiarkan, apalagi bersikap pasrah maupun menerimanya sebagai sebuah pemakluman dan kewajaran. Karena perlahan tapi pasti, hal ini akan merubah sistem demokrasi menjadi plutokrasi, dimana hanya orang kaya lah yang boleh berkuasa dan mengendalikan pemerintahan. Sehingga wajah politik dan kebijakan yang diambil negara selalu memihak dan menguntungkan si kaya daripada memperjuangkan kepentingan kaum papa. Politik kita harus memiliki tujuan berkeadilan sosial, pemerataan kesejahteraan, hingga keberpihakan terhadap orang-orang lemah dan miskin. Sebab menurut Bung Karno, orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan tanpa mengabdi kepada sesama manusia, karena Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.

Penulis: Pathurrahman Kurnain (PENGAMAT POLITIK FISIP ULM & Direktur GLORY Institute)

Helman

Uploader.

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *