#JusticeForAudrey: Bullying Remaja Belaka atau Kekerasan Fisik & Seksual?

Pengeroyokan Audrey (14), seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Pontianak, Kalimantan Barat, oleh 12 siswi lainnya disebut seorang psikolog anak sebagai “bullying kasus ekstrem”. Apa alasannya?

Kisah Audrey menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Tagar #JusticeForAudrey bahkan menjadi trending nomor satu Twitter dunia, dengan lebih dari 534.000 cuitan.

Petisi di situs Change.org dengan judul “KPAI dan KPPAD, Segera Berikan Keadilan untuk Audrey #JusticeForAudrey!”, hingga Rabu (10/04) pagi, bahkan telah ditandatangani lebih 1,7 juta kali.

“Saya gak bisa ngomong apa-apa lagi. Gimana mereka bisa melakukan itu (pada Audrey). Mereka juga perempuan kan? Kok bisa? Tidak manusiawi,” cuit salah seorang netizen Ayasha Felecity, lewat akun Twitter-nya @kookie6997.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD), kasus ini bermula pada Jumat (29/03) lalu.

Audrey yang disebut “sering nimbrung di media sosial” terkait hubungan asmara salah satu terduga pelaku, dibawa pelaku yang emosi ke Jalan Sulawesi, Pontianak.

Di sana, tiga terduga pelaku utama, dibantu sembilan temannya “memukul perut Audrey, membenturkan kepalanya ke aspal, menyiramnya dengan air dan melukai alat kelamin korban”.

Petisi Change.org terkait Audrey telah ditandatangani lebih 1,7 juta kali.

Audrey bungkam karena diancam, hingga akhirnya pada Jumat (05/04), ibu korban yang akhirnya tahu melaporkan kasus pengeroyokan atas putrinya ini kepada KPPAD Kalimantan Barat.

Kasus ini pun pada Senin (08/04), dilimpahkan dari Polsek Pontianak Selatan ke Polres Kota Pontianak, setelah sebelumnya “mediasi kesepakatan untuk berdamai antara ibu korban dan pelaku, tidak tercapai.”

“Bukan bullying lagi, tapi serangan seksual”

Psikolog anak Elizabeth Santosa, yang kerap disapa Lizzie, kepada VOA Indonesia mengungkapkan aksi kekerasan 12 siswi di Pontianak itu terjadi karena kombinasi sejumlah hal: “perilaku kolektif ikut-ikutan, digabung dengan hormon labil remaja.”

“Mereka tak sadar aksinya berdampak buruk, melakukan hal yang membahayakan orang lain dan mereka sendiri,” kata Lizzie.

Menurutnya, kekerasan fisik hingga seksual dilakukan sebagai pelampiasan emosi, ‘karena bisa saja sebagai remaja, mereka melihat keperawanan sebagai hal yang suci, dan merenggutnya dianggap sebagai ungkapan kemarahan yang layak.’

“Setiap grup punya nilainya sendiri. Mungkin mereka sudah ngomong ini (kekerasan) sebelumnya. Dalam klik, banyak nilai. Bisa saja untuk bisa diterima, kamu harus melakukan hal macam-macam, misalnya harus tidur sama om-om, atau melakukan kekerasan.”

Media sosial juga ramai mempertanyakan istilah yang kerap digunakan netizen dan media untuk mendeskripsikan peristiwa yang dialami Audrey: bullying.

“Ini bukan bully lagi. Apa yang terjadi sama Audrey itu serangan seksual, penyiksaan fisik,” tulis Ester dalam Bahasa Inggris, lewat akun Twitter-nya @ester15425753.

Menurut psikolog Lizzie, meskipun yang terjadi pada Audrey masih masuk dalam cakupan bullying atau perisakan, tetapi bullying yang terjadi sudah dalam “kasus ekstrem”. “Ini masuk kekerasan fisik, kekerasan seksual.”

‘Kelemahan hukum untuk pelaku anak’

Bagaimanapun, KPPAD mengungkapkan pihaknya telah mendampingi korban dan pelaku. Kedua pihak, termasuk pelaku bahkan diberi “terapis dan psikolog klinis untuk penyembuhan trauma”.

Tidak hanya itu, dalam konferensi pers awalnya, Ketua KPPAD Kalimantan Barat, Eka Nurhayati Ishak meminta agar kasus ini “jangan masuk ke ranah kepolisian, yaitu sampai ke ranah pengadilan”.

“Mengingat anak-anak ini masih di bawah umur dan berhak dilindungi,” ungkap Eka dalam video konferensi persnya yang tersebar di media sosial. Pernyataan KPPAD tersebut mendapat banyak kecaman di media sosial.

“Yg menyuruh korban damai dgn pelaku mau kuajak duduk baik-baik terus kubilang pas di mukaknya: “Kalau Audrey itu anak kau, adik kau, saudara kau, masih sanggup kau nyuruh damai? Pelaku itu udh bunuh masa depannya sendiri dgn perbuatannya, itu yg mau kau bela?” tulis akun Twitter @ikanatassa.

Psikolog anak Elizabeth Santosa mengungkapkan sulitnya penangangan kasus dugaan kekerasan fisik dan kekerasan seksual oleh anak, karena di dalam sistem hukum yang diterapkan di negeri ini, “semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, dipanggil anak-anak. Ini kelemahannya.”

“Beda dengan di Amerika. Kalau masuk usia pubertas dipanggil minor, ada ketentuan hukumnya sendiri. Kalau di Indonesia, anak-anak ini kan luas, harusnya kan dibedain. Minor bukan berarti lepas dari jeratan hukum. Masak nusuk orang (misalnya) dia tetap lolos, cuma karena usianya.”

KPPAD ganti pernyataan?

Dengan ramainya kecaman di media sosial, KPPAD pun mengoreksi pernyataannya.

“Untuk kasus hukumnya itu kita tidak bisa masuk, kami KPPAD tidak bisa mengintervensi. Kita hormati kepolisian mereka sudah bekerja semaksimal mungkin bekerja sesuai tupoksi mereka, kami dengan tupoksi kami,” ujar Eka Nurhayati Ishak, dalam pernyataannya, Selasa (09/04).

Saat ini kasus pengeroyokan yang menimpa Audrey tengah ditangani Polres Kota Pontianak. Sebanyak tiga orang pelaku telah diperiksa polisi.

Selain itu, pemerintah Kota Pontianak juga menerjunkan tim untuk menyelidiki kasus Audrey. Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menyebut ingin mengetahui duduk perkara penganiayaan Audrey.

“Yang pasti kita sudah dapatkan informasi. Kan pertama kita turunkan juga tim dari Diknas (Dinas Pendidikan), tim investigasi kenapa sampai terjadi peristiwa ini,” tutur Edi kepada wartawan, Selasa (09/04) kemarin. (rh)

https://www.voaindonesia.com/a/justiceforaudrey-bullying-remaja-belaka-atau-kekerasan-seksual-/4868859.html

 

 

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *