Caleg Difabel: Perjuangan Tak Kenal Batas

Kelompok rentan, seperti difabel di Indonesia selama ini menitipkan aspirasi mereka kepada anggota legislatif. Dalam pemilihan umum 2019 ada sejumlah difabel turun sendiri ke gelanggang untuk berebut kursi di parlemen.

Anggiasari Puji Aryatie adalah penyandang kondroplasia. Tingginya 105 sentimeter, jauh di bawah rata-rata orang Indonesia. Namun, perempuan lincah dan ramah ini adalah pejuang sejati. Dia lulus dari Sastra Perancis di UGM dan Sastra Inggris di STBA LIA. Dia kemudian melanjutkan S2 di Filsafat Teologi di Universitas Kristen Duta Wacana. Aktif memperjuangkan hak-hak difabel di Indonesia, Anggi kini maju berebut kursi di Senayan. Dia adalah Calon Legislatif dari Partai Nasdem untuk DPR RI di Daerah Pemilihan DIY, dengan nomor urut 6.

“Saya bekerja dengan teman-teman difabel sudah tujuh tahun. Bersama mereka terlibat dalam review draft Perda di Kota Yogya. Turut menyusun petunjuk teknis Musrenbang (Musyawarah Rencanaan Pembangunan-red) partisipatif disabilitas. Saya juga aktif dalam advokasi untuk pengurangan resiko bencana, pendidikan inklusi, dan politik anggaran. Semua itu di LSM,” kata Anggi menceritakan kiprahnya.

Dia tak pernah berhenti tersenyum ketika berbicara. Sepanjang berdiskusi dengan VOA, terlihat kapasitasnya yang menguasai persoalan-persoalan hak kelompok difabel. Optimisme juga terpancar dari matanya, ketika secara detil menceritakan kiprah sosialnya, hingga datang keputusan untuk terjun ke partai politik. Dia diminta bergabung oleh Nasdem, dan baginya hasil dari proses ini hanya Tuhan yang tahu.

“Jelas optimis, karena bagi saya ini adalah kesempatan untuk kami, temen-temen disabilitas, memperjuangkan isu kita. Selama ini sudah ada undang-undangnya, pelaksanaannya yang harus kita kawal bareng-bareng, supaya efektivitasnya, penerima manfaatnya, pelaksanaan kegiatannya jelas dan tepat sasaran. Ketika kita bicara isu disabilitas, sebenarnya kita berbicara tentang kita semua,” kata Anggiasari Puji Aryatie.

Anggiasari Puji Aryatie. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Anggi pernah berkiprah di lembaga advokasi kelompok ini, baik yang berasal dari Indonesia, Jerman maupun Perancis. Namun dia berprinsip, meski difabel akan berjuang bagi siapapun. Selain itu, Anggi juga membawa isu-isu perempuan dalam kampanyenya sejauh ini. Dukungan komunitas disabilitas dan perempuan, menurutnya cukup baik. Dia membuka pintu bagi siapapun untuk menjadi relawan, membantunya dalam sosialisasi program ke seluruh lapisan masyarakat.

“Saya rasa ini proses. Komitmen. Saya tekankan ke teman-teman, ini adalah perjuangan bersama-sama. Kita bergerak bareng-bareng. Saya memahami apa yang kita lakukan, perjuangan kita. Saya merasakan diskriminasi, sama seperti teman-teman juga,” tambahnya.

Ganti Jalur Perjuangan

Suryatiningsih Budi Lestari bukan nama baru dalam peta politik di DIY. Dia pernah menjadi komisioner KPU daerah dan karena itu akrab dengan dinamika politik partai. Tahun ini menjadi pembeda.Dia menyebut langkah ini sebagai berganti jalur. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memintanya bergabung dan tidak tanggung-tanggung memberinya nomor urut 1 di Dapil 5 untuk kursi DPRD DIY.

Kursi roda tidak pernah membatasi ruang gerak. Kiprahnya selama ini, baik di organisasi advokasi kelompok difabel maupun di ranah sosial politik secara umum, membuatnya dikenal baik di kalangan luas. “PSI punya komitmen anti korupsi, toleran, dan berkomitmen terhadap semua kelompok rentan,” ujurnya memberi alasan bergabung ke partai politik.

Suryatiningsih Budi Lestari. (Foto courtesy: Suryatiningsih/dok)

Isu utama yang diusung perempuan yang akrab dipanggil Nining ini, tentu saja seputar hak-hak kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Komitmen ini sudah ditunjukkan sejak lama. Ketika menjadi komisioner KPU di daerah, dia gigih memperjuangkan pemenuhan hak politik kelompok difabel, termasuk di antaranya surat suara dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ramah difabel.

“Sekarang saya ingin menunjukkan kepada teman-teman saya bahwa selama ini ada banyak keterbatasan ketika akan membuat kebijakan yang ramah tehadap disabilitas. Ketika melakuan advokasi itu terhalangi. Dengan didorong itu semua, kenapa saya tidak masuk? Melalui jalur legislatif ini, saya ingin membawa perubahan. Saya ingin mencoba kebijakan yang ada harus untuk semua. Satu kebijakan inklusif untuk semua,” kata Suryatiningsih Budi Lestari.

Satu hal yang membuat Nining merasa nyaman berpolitik di PSI, adalah karena dia dianggap sama sebagai warga negara. Kondisi fisiknya tidak dinilai sebagai kekurangan. Nuning justru diberi kepercayaan memberikan pembekalan kepada Caleg-Caleg lain di PSI, sesuai pengalamannya di KPU maupun dalam aktivis sosial.

“Selama ini saya sudah berkiprah di bidang sosial berbagai level, tidak hanya penyandang disabilitas.Ketika saya masuk partai politik, kawan-kawan mengapresiasi karena menganggap saya berani masuk ke situ,” tambah Nining.

Perlu Perluas Dukungan

Potensi suara kelompok difabel cukup signifikan. Di DIY terdapat lebih dari 29 ribu difabel, sekitar 70 persennya memiliki hak pilih. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah pemilih penyandang disabilitas Pemilu 2019 mencapai 1.247.730 orang. Jika dirinci angka tersebut, pemilih difabel daksa 83.182 orang, difabel netra 166.364 orang, difabel rungu 249.546 orang, difabel grahita 332.728 orang, dan disabilitas kategori lainnya 415.910 pemilih. Setidaknya ada 30 Caleg difabel yang maju baik di DPR kabupaten/kota, provinsi maupun DPR RI di seluruh Indonesia.

Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel atau Sigap, Suharto menyambut positif keputusan Anggie dan Nuning. “Keputusan teman-teman difabel untuk terjun ke politik saya kira baik dan berani,” ujar Suharto.

Suharto memaparkan, keputusan terjun ke politik itu baik karena pengalaman membuktikan, jika ingin turut mengubah kebijakan, kelompok difabel harus masuk ke sistem. Berdiri sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memang bisa, tetapi perannya tidak bisa dijalankan secara langsung. Jika ada yang terpilih, Caleg difabel memiliki peluang lebih besar turut mengubah kebijakan.

Komitmen politik Anggi tidak hanya bagi kelompok difabel. (Foto courtesy: Anggi)

“Keputusan itu juga berani, karena rata-rata modal kawan-kawan ini kan kecil. Modal sosialnya juga. Banyak di antara mereka yang hanya bergelut di isunya sendiri. Di kelompoknya sendiri. Sementara untuk terpilih butuh dukungan yang luas.Harusnya mereka tidak hanya berkampanye di kelompok difabel saja, tetapi juga harus merangkul kelompok-kelompok yang lain,” kata Suharto.

Suharto melihat Anggie cukup bagus dan lebih siap, tidak hanya dalam pendekatan ke difabel tetapi juga kelompok lain. Hanya saja, tantangan sebagai Caleg DPR RI tentu lebih berat dalam peggalangan dukungan. Suharto menilai Nuning sangat rajin melakukan konsolidasi dukungan. Dia berharap kesadaran lebih di kalangan difabel, untuk memilih Caleg yang memahami aspirasi mereka.

Selama ini, kata Suharto, kelompok difabel menitipkan aspirasi mereka ke Caleg berbagai partai politik. Kenyataannya, banyak janji tidak terealisasi. Turun ke gelanggang ini adalah keputusan tepat, karena tak mungkin lagi menggantungkan harapan kepada orang lain. [ns/lt]

https://www.voaindonesia.com/a/calegdifabel-perjuangan-tak-kenal-batas-/4796074.html

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *