Pilkada Era Pandemi & Lahirnya Peradaban Baru Demokrasi

DUTA TV BANJARMASIN – Lanskap perpolitikan banua kembali riuh. Hal ini dipicu keputusan M. Aditya Mufti Ariffin (Ovie) yang mendadak menyatakan mundur dari kontestasi Pilwali Kota Banjarbaru 2020. Dalam konferensi pers-nya kepada para awak media pada senin 15/06/20, bakal calon yang tengah menjabat sebagai Ketua DPW PPP Kalimantan Selatan ini memilih untuk menghentikan langkah politiknya dalam pentas perburan kursi walikota. Alasan utamanya adalah soal kemanusiaan. Menurutnya terlalu berisiko memaksakan pilkada di tengah pandemi, dimana keselamatan masyarakat di atas segalanya. Ovie merasa tidak ingin mengorbankan relawan, timses dan jiwanya untuk pilkada kali ini. Risiko terpapar Covid-19 sangat besar. Selain itu dirinya mengaku juga menemui kesulitan untuk memaksimalkan penyampaian visi-misi kepada pemilih di tengah badai Korona.
Ovie bukanlah satu-satunya kontestan yang merasa terbebani dengan keputusan KPU dan pemerintah pusat yang tetap akan melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020 nanti. Bakal calon walikota Solo, Purnomo, juga mengisyaratkan akan mengundurkan diri jika pilkada tetap digelar pada tahun ini.
Menggelar pilkada di tengah pandemi adalah suatu hal yang sulit untuk dijalani. Namun KPU dan pemerintah tentu telah mempertimbangkan berbagai resiko dan konsekuensi yang akan terjadi, misalnya angka partisipasi pemilih yang diprediksi akan menurun secara signifikan, meningkatkanya praktik jual beli suara hingga serta kekhawatiran rawannya politisasi bantuan sosial demi kepentingan pilkada. Belum lagi biaya penyelenggaraan pilkada yang akan bertambah, karena harus menyiapkan perangkat kesehatan seperti sanitizer, masker hingga tempat cuci tangan. Sebaliknya, jika pilkada ditunda, tentu akan menyebabkan dampak sistemik terhadap jalannya roda pemerintahan di daerah. Sebab pilkada serentak tahun ini diikuti oleh 270 kabupaten/kota se-Indonesia. Sementara itu, rata-rata akhir masa jabatan kepala daerah yang mengadakan pilkada berakhir pada Februari hingga Juni 2021. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya jika kepala daerah harus digantikan oleh penjabat sementara (Pjs) dari Aparatur Sipil Negara (ASN), yang tentu akan kesulitan mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis yang justru sangat dibutuhkan di masa pandemi.
Tantangan terbesar pada pilkada kali ini justru dialamatkan kepada para kontestan, khususnya calon penantang yang harus menghadapi kenyataan pahit dalam melakukan sosialisasi politik di tengah masyarakat. Selain harus menghadapi kekuatan calon petahana, mereka juga harus memutar otak untuk mencari strategi baru yang tepat dalam bergerilya di tengah protokol kesehatan yang ketat. Menariknya, tuntutan ini juga membawa konsekuensi dalam memicu transformasi kehidupan politik menuju peradaban politik baru dalam berdemokrasi.
Heraclitus, filsuf Yunani Kuno pernah berkata “Tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri”. Zaman telah berubah dan tren-pun ikut bergeser. Wabah Korona telah membawa keniscayaan baru dalam wajah demokrasi kita. Protokol kesehatan di era New Normal turut mendorong perubahan gaya kampanye politik para kandidat dalam dunia elektoral. Hantaman gelombang Covid-19 telah memaksa pola kampanye politik, suka atau tidak, harus bertransformasi. Politisi tidak lagi dituntut mengandalkan strategi konvensional guna menemui dan menyapa pemilih. Aktifitas gerilya turun lapangan menjumpai masyarakat secara door to door maupun menggelar orasi akbar di tengah kerumunan massa akan semakin terlihat usang dan berbahaya. Pendekatan tersebut tidak hanya membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang banyak, tetapi juga sangat berpotensi dalam memperbesar risiko penyebaran rantai Virus Korona. Sebagai langkah adaptif terhadap perubahan zaman, politisi haruslah piawai dalam memaksimalkan kampanye di dunia digital demi berinteraksi dan menyentuh hati banyak pemilih.
Perangkat teknologi menjadi piranti primer yang tidak bisa dilepaskan dari aktifitas politik pasca New Normal. Artificial Intelligence, big data, Internet of Things, Virtual and Augmented Reality dan Robotasi akan mulai merajai banyak kegiatan para politisi, mulai dari berkampanye, pemungutan suara hingga melakukan reses politik. Untuk itu, politisi dituntut agar memiliki daya kreatifitas dan inovasi yang tinggi guna menghadapi kondisi yang tidak menentu dan cepat berubah-ubah. Goncangan-goncangan besar pada kehidupan manusia akan sangat mungkin kembali terjadi dan tentunya juga akan membawa dampak besar pada kehidupan politik dan politisi itu sendiri.
Pandemi Covid-19 juga mempercepat perubahan pada penguasaan kemampuan dasar yang dimiliki politisi dalam berkampanye. Pandai dalam berorasi, memiliki banyak bahan bacaan/referensi, serta piawai dalam melakukan lobi dan diplomasi tentu tidaklah lagi terasa cukup. Untuk bisa bertahan dalam pentas politik, mereka juga perlu membekali diri dengan keahlian literasi data/informasi yang baik. Di era hoax, buzzer dan banjir informasi palsu seperti saat ini, pembacaan data yang baik sangat dibutuhkan dalam memastikan keputusan-keputusan politik dan kebijakan yang akan diambil telah tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. Kemampuan literasi data yang baik akan mengarahkan para politisi untuk dengan cermat dalam mengidentifikasi suatu masalah, menemukan fakta yang relevan hingga mengolah data/informasi menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami orang lain.
Kemampuan berikutnya yang sangat penting dimiliki bagi politisi yakni Critical Thinking. Informasi/data yang dimiliki pada akhirnya tidak akan banyak membantu tanpa ditunjang kemampuan berpikir kritis guna membangun daya nalar yang analitik, evaluatif dan konstruktif. Melalui kemampuan berpikir kritis, data/informasi yang dimiliki dapat dikembangkan menjadi ide-ide yang brilian dan jalan alternatif guna memecahkan persoalan-persoalan politik yang dihadapi.
Semoga apa yang dialami Ovie pada Pilkada Kota Banjarbaru tidak menyurutkan semangat bakal calon yang lain untuk terus berkompetisi dalam pilkada tahun ini. Pandemi Covid-19 justru harus disikapi sebagai momentum menciptakan langkah terobosan yang akan membawa banyak harapan dan peluang baru bagi renovasi peradaban politik kita di masa depan.





