Membaca Perjalanan Pembangunan Sejak Era Integrasi Papua Ke Dalam Wilayah NKRI Hingga Kini
Duta TV- Jakarta, Presiden RI Joko Widodo berkomitmen kuat untuk membangun Papua secara komprehensif.
“Saya minta kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat ini dikonsultasikan dengan seluruh komponen masyarakat yang ada di Papua maupun Papua Barat. Ini penting sekali. Kita mengajak bicara seluruh tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama yang ada di Papua dan Papua Barat sehingga dapat merumuskan sebuah kebijakan yang terbaik, yang akan membuat Papua dan Papua Barat semakin maju dan sejahtera,” jelasnya dalam Rapat Terbatas terkait Papua pada Rabu (11/3).
Perhatian terhadap Papua dan Papua Barat ini diwujudkan Kementerian PPN/Bappenas melalui penyelenggaraan Strategic Policy Discussion pada Senin (29/6) dengan tema “Papua: Meluruskan Masa Lalu, Menatap Masa Depan”.
“Komitmen pada Papua yang tinggi itu dapat dilihat dari intensitas Presiden ke wilayah Papua. Sejak menjabat pada periode pertama maupun periode kedua ini, Bapak Presiden sudah sebelas kali mengunjungi Tanah Papua,” jelas Deputi Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Primowardani saat membuka diskusi.
Komitmen tersebut dilanjutkan dengan dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, dimana seluruh kementerian/lembaga ditugaskan merumuskan langkah terobosan guna mengatasi kesenjangan pembangunan di kedua provinsi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Kementerian PPN/Bappenas sebagai yang ditugaskan menyusun Rencana Aksi Inpres No. 9 Tahun 2017 telah menjalankan fungsinya dengan baik dan berkoordinasi dengan Kantor Staf Kepresidenan, diharapkan dapat menjawab apa yang menjadi komitmen Bapak Presiden untuk kesejahteraan masyarakat di provinsi Papua dan provinsi Papua Barat,” pungkas Jaleswari.
Diskusi Kebijakan Strategis ini bertujuan: membahas dinamika geopolitik internasional pada 1950-an hingga 1960-an yang melatarbelakangi konteks sejarah integrasi Irian Barat; (2) membahas pertimbangan hukum internasional dalam konteks sejarah integrasi Irian Barat, khususnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau the Act of Free Choice pada 1969; (3) membahas konteks sosio-kultural Irian Barat dalam konteks relasi sosial dengan daerah-daerah di Indonesia; (4) Membahas agenda HAM, mediasi, dan proses rekonsiliasi; dan (5) membahas kerangka dan proses pembangunan perdamaian.
“Dari sisi perencanaan, Kementerian PPN/Bappenas telah memiliki sejumlah strategi dan pendekatan baru, baik dalam kerangka menerjemahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 maupun RPJMN 2020-2024, termasuk Inpres No. 9 Tahun 2017 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di provinsi Papua dan provinsi Papua Barat,” jelas Staf Ahli Menteri PPN Bidang Pemerataan dan Kewilayahan Oktorialdi.
Strategi percepatan pembangunan dilaksanakan dengan perwilayahan komoditas berbasis kearifan komunitas di tujuh wilayah adat di Papua, sementara pendekatan yang digunakan adalah mengidentifikasi potensi wilayah serta menjembatani proses pembangunan dan pengembangannya dari hulu ke hilir atau yang dikenal dengan pendekatan Tematik, Holistik, Integratif dan Spasial (THIS).
Oktorialdi juga menjelaskan dukungan regulasi dalam konteks revisi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Menurut beliau, revisi UU Otonomi Khusus Papua itu setidaknya mencakup enam kerangka utama, yakni kerangka kewenangan, kelembagaan, pembangunan strategis, sumber daya manusia, politik, hukum dan HAM serta kerangka keuangan. Hal itu dimaksudkan agar implementasi program pembangunan, baik dalam RPJMN 2020-2024 maupun kebijakan-kebijakan pembangunan nasional, memiliki pijakan yang kuat di tingkat implementasi.
Tokoh Papua Laksamana Madya (Purn) Freddy Numberi menyampaikan Resolusi PBB Nomor 1514 (XV) pada 14 Desember 1960 mendorong banyak negara yang dijajah untuk menuntut kemerdekaan. Sebagai penguasa wilayah koloni Hindia Belanda (sampai New Guinea), Belanda harus mengakui kemerdekaan Indonesia dan harus melepas koloni Papua sebagai bagian dari jajahannya dalam wilayah Hindia Belanda. Belanda juga telah menandatangani Atlantic Charter pada Agustus 1941 yang di antaranya menegaskan zaman imperialisme telah berakhir dan hak kemerdekaan harus diakui.
Peristiwa Bung Karno mengobarkan semangat Trikora 19 Desember 1961 dan didukung fakta pertempuran Laut Arafura pada 15 Januari 1962 antara Belanda dan Indonesia, di mana Komodor Yos Soedarso gugur bersama awak KRI Macan Tutul, semakin meyakinkan Presiden John F. Kennedy bahwa Bung Karno sangat serius mempertahankan Papua sebagai bagian NKRI.
Pengacara HAM Papua Pieter Ell dalam paparannya menyampaikan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan suatu solusi yang selama 20 tahun belum dibentuk untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Papua. Kasus pelanggaran HAM masa lalu juga dapat diselesaikan komisi ini, yaitu melalui rekonsiliasi.
Hal yang terpenting adalah menatap masa depan sehingga tercipta Papua Tanah Damai. Sementara John NR Gobay, selaku Dewan Adat Papua menyampaikan hubungan Papua dengan kesultanan Ternate dan Tidore sudah terjadi sejak 1500-an, dan VOC mengakui kekuasaan kesultanan Ternate dan Tidore mencakup sebagian Pulau Papua.
Penyelesaian masalah di Papua membutuhkan pendekatan khusus dan perlu dituangkan dalam kebijakan nasional, distorsi sejarah perlu diselesaikan melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KRR) sebagaimana tertuang dalam amanat pasal 46 UU 21 Tahun 2001 melalui usulan Gubernur dan ditetapkan melalui Kepres. KRR menjadi wadah bagi rakyat Papua berbicara melalui dialog damai.
Anggota MRP Provinsi Papua Markus Kayoi menyampaikan melanjutkan kemajuan Tanah Papua yang dituangkan melalui UU Otonomi Khusus sebagai hasil dari win-win solution dan UU hasil kebijakan politik. Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat telah memberikan rekomendasi kepada Presiden agar melakukan dialog yang bermartabat dengan semua pihak guna meminimalisasi kekerasan di masa depan. Amanat UU Otonomi Khusus menyebutkan bahwa MRP merupakan forum yang dapat melakukan rapat dengar pendapat dengan semua pihak dan menjadi rekomendasi kepada pemerintah pusat.
Guru Besar UI sekaligus Rektor Universitas Ahmad Yani Hikmahanto Juwana menyampaikan bahwa pelanggaran HAM dapat diselesaikan dengan semangat lebih terbuka dan saling menghormati sebagai bentuk demokrasi yang sudah dibangun para pendiri bangsa terdahulu. Hal penting lainnya adalah perlunya melihat geopolitik ke depan dengan melihat sejarah geopolitik masa lalu. Selanjutnya Duta Besar RI untuk Australia 2003-2005 dan Duta Besar RI untuk Tiongkok 2010-2013 Imron Cotan menyampaikan sejarah Belanda menyerah dari Jepang dan melarikan diri ke Australia sehingga banyak tahanan politik Belanda asal Boven Digoel dimakamkan di Kaura di Australia. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, Belanda melihat peluang dan mencoba menancapkan kekuasaannya kembali di Indonesia melalui Australia.
Sejumlah permasalahan lainnya yang dibahas dalam Strategic Policy Discussion tersebut antara lain perbedaan perspektif terkait sejarah integrasi Papua ke dalam kedaulatan Indonesia, kesenjangan ekonomi dan sosial, isu diskriminasi, keadilan hukum dan penegakan HAM. Solusi yang ditawarkan adalah pemerintah menggelar dialog dan rekonsiliasi untuk Papua yang damai di masa depan.
Selain itu, narasumber mengajak generasi muda Papua untuk mempelajari sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI dengan baik dari sumber bacaan yang autentik, bukan dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara faktual-ilmiah. Di sisi lain, rakyat Papua harus menikmati manfaat Otonomi Khusus lewat penata kelolaan pemerintahan yang kredibel, bersih dan transparan dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat Papua.
Diskusi ini juga mengundang penanggap ahli sejarah Maluku Utara dan Papua Syaiful Bahri Ruray, peneliti Papua Centre FISIP Universitas Indonesia Ani Widyani Soetipto, Ketua PURT MRP dan Ketua PWKI Provinsi Papua Dorince Menhue, peneliti Universitas Cendrawasih Vince Tebay, pengamat Papua Frans Maniagasi, tokoh muda Papua Moksen Idris Sirfefa, serta dua pengamat sejarah Papua Michael Manufandu dan Nick Messet.
Diskusi Kebijakan Strategis ini dipandu Direktur Daerah Tertinggal, Perdesaan dan Transmigrasi Kementerian PPN/Bappenas Velix Wanggai dengan menjaring perspektif yang beragam dari narasumber dan penanggap dalam membaca perjalanan pembangunan sejak era integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI hingga sekarang.
“Semua gagasan yang berkembang dalam diskusi ini akan diramu menjadi rancangan kebijakan yang mendasar dan strategis. Setiap kebijakan diharapkan dapat menjawab permasalahan pembangunan di provinsi Papua dan Papua Barat. Tentu saja, dialog akan terus dilakukan dengan semua pihak di pusat dan daerah dalam rangka menata penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di provinsi Papua dan provinsi Papua Barat yang lebih baik lagi di masa depan,” pungkas Velix.
Tim liputan