Sudah Diminta Berhenti, Sriwijaya Air Masih Terbang Juga

Kemelut yang terjadi di internal Sriwijaya Air bermuara ke rekomendasi pemberhentian operasional. Rekomendasi itu bahkan juga dilayangkan oleh direksi perusahaan sendiri.

Rekomendasi itu terkuak setelah surat yang ditujukan kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena tersebar. Surat itu ditulis oleh Direktur Quality, Safety & Security Sriwijaya Air Capt. Toto Soebandoro.

“Intinya saya juga kaget sudah menyebar di mana-mana. Ini adalah surat internal Sriwijaya Air. Di dunia penerbangan adalah hal yang lumrah,” ujarnya di Jakarta, Senin (30/9).

Berita Lainnya

Surat rekomendasi itu tidak digubris oleh Jefferson dan memutuskan bahwa Sriwijaya Air tetap beroperasi. Akhirnya dua direksi memutuskan untuk mengundurkan diri, yakni Direktur Operasi Capt. Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Romdani Ardali Adang. Mereka mundur lantaran merasa keputusan perusahaan membahayakan penumpang.

Fadjar menilai, dengan kondisi minim persiapan maintenance pesawat, operasional Sriwijaya Air sangat berbahaya. Sebab pesawat bisa kapanpun terkendala dan harus berhenti.

“Setiap operasional penerbangan pasti berisiko. Tapi risikonya kalau kendaraan darat bisa berhenti sewaktu-waktu. Tapi kan pesawat tidak bisa seperti itu. Semua ada standarisasinya,” terangnya.

Rekomendasi ini bermula ketika anak usaha Garuda Indonesia, GMF Aero Asia menghentikan layanan perawatan (maintenance) pesawat Sriwijaya Air. Hal itu membuat Sriwijaya Air dianggap tak memenuhi standar keamanan.

Sriwijaya Air pun melakukan line maintenance sendiri dengan metode engineer on board (EOB) dengan jumlah 50 orang. Terdiri dari 20 orang certifying staff, 25 orang RII dan certifying staff dan 5 orang management and control. Personel tersebut terbagi dalam 4 grup.

Fadjar menerangkan dengan minimnya juga pasokan suku cadang, berpotensi pesawat tidak bisa sampai tujuan. Misalnya pesawat dari titik A menuju titik C harus transit di titik B. Nah jika terjadi kendala, pesawat bisa saja tak sampai ke titik C, dan harus menginap di titik B.

Romdani menambahkan, risiko yang kemungkinan terjadi adalah human eror. Sebab saat ini mekanik dan perawatan pesawat bekerja 12 jam dengan tingkat kelelahan yang tinggi.

“Kalau selama 12 jam libur 2 hari itu kan sebenarnya masih boleh. Tapi jangan biarkan mereka stres. Bisa saja salah handle pesawat, human eror-nya tinggi sekali. Bisa terjadi masalah ringan, kalau itu pesawat bisa balik lagi ke bandara. Tapi kalau misalnya karena lelah dia lupa taruh obeng di mesin, itu bahaya bisa terganggu,” terangnya.

 

https://finance.detik.com

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *