Masyarakat sipil khawatir rencana penempatan perwira TNI aktif di jabatan publik akan mengembalikan dwi fungsi ABRI.
“Harus dipikirkan jangan sampai restrukturasi organisasi justru akan menimbulkan surplus baru di tubuh TNI. Kita tahu hari ini, TNI mengalami kebingungan terkait surplus jumlah yang dimiliki posisi jabatan yang ada. Akhirnya terjadi program penempatan jabatan-jabatan baru. Terkait Tamtama-Bintara perlu dihitung, tiga hal yaitu jangan sampai menimbulkan surplus baru, jangan menimbulkan anggaran baru, serta efektifitasnya seperti apa,” jelas Al Araf di kantor Imparsial, Jakarta, Rabu (2/6).
Al Araf menambahkan penempatan TNI aktif pada jabatan sipil juga dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI atau dwi fungsi ABRI yang telah dihapus sejak reformasi. Menurutnya, hal tersebut dapat mengganggu tata sistem pemerintahan yang sudah berjalan demokratis selama ini.
Al Araf juga mengkritik peningkatan status jabatan dan pangkat bintang satu di daerah teritorial yakni di beberapa Korem. Menurutnya, kebijakan tersebut sama halnya dengan memperkuat Korem yang semestinya dihindari karena berpeluang untuk kepentingan politik praktis.
“Kita bisa lihat Pasal 11 ayat 2 UU TNI yang menyebutkan bahwa gelar perkara TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur pemerintah daerah. Artinya semangat untuk melakukan restrukturasi, bukan menambah jabatan di Korem,” tambah Al Araf.
Menanggapi itu, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Sisriadi menjelaskan permintaan perwira TNI untuk mengisi jabatan sipil datang dari kementerian dan lembaga, bukan dari lembaganya. Menurutnya, hal tersebut juga sudah diatur dalam UU TNI dengan penempatan di lembaga yang berurusan dengan keamanan negara.
Namun, ia mengakui ada dua lembaga lain yakni Badan Keamanan Laut dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang sebenarnya tidak diatur dalam UU, namun tetap ditempati perwira TNI aktif dengan peraturan presiden.
“Jadi masih lama lah misalnya kalau itu harus dilakukan karena harus merevisi UU Nomor 34/2004. Jadi itu sangat bergantung juga dengan Komisi I pembahasannya. Jadi belum apa-apa, masih omong-omong kebetulan itu disampaikan di Rapim TNI, salah satunya soal itu,” jelas Sisriadi saat dihubungi VOA.
Sisriadi menambahkan lembaganya juga memaklumi munculnya kekhawatiran terhadap kembalinya dwifungsi ABRI terkait rencana peningkatan status jabatan di Korem dan penempatan perwira di jabatan sipil. Namun, ia memastikan hal tersebut tidak akan terulang karena doktrin tersebut telah lama ditinggalkan TNI.
“Di TNI, doktrin sudah berubah jadi dalam waktu 1998 sampai sekarang, bayangkan perubahan doktrin TNI itu luar biasa. Bahkan perwira-perwira muda itu sudah tidak ngerti dwi fungsi ABRI. Mungkin mereka bingung, karena di lembaga-lembaga pendidikan sudah tidak ada lagi,” imbuhnya.
Sementara terkait kekhawatiran penambahan anggaran karena perpanjangan usia pensiun Bintara dan Tamtama, ia menjelaskan hal tersebut tidak akan terjadi. Sebab tidak ada penambahan personel dari kebijakan perpanjangan usia pensiun tersebut. [ab/Ab]
https://www.voaindonesia.com/a/restrukturasi-tni-diminta-dikaji-ulang/4776507.html