DUTA TV BANJARMASIN – Ihwal yang membuat bulan puasa tahun ini semakin terasa hambar di tengah pandemi Covid-19 adalah ditiadakannya Pasar Wadai. Demi mengantisipasi munculnya kerumunan massa, tradisi festival kuliner saban-tahunan ini urung diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Jejeran kios berukuran tidak lebih dari 3×3 meter yang menjajakan penganan khas Banjar seperti Bingka, Laksa, Hintau-karuang, Kokoleh, Putu-Mayang, Agar-agar, Ipau dan berbagai wadai beceper lainnya hanya hadir dalam imaji Urang Banjar pada Ramadhan kali ini.
Sebagai suatu fenomena sosial-budaya, keberadaan Pasar Wadai sejatinya mampu memberikan renungan tersendiri dalam mencermati sorak-sorai demokrasi kita hari ini yang kerap dikait-kaitkan dengan sistem pasar. Alih-alih mengedepankan nilai-nilai Pasar Wadai, demokrasi kita malah terjerumus dalam lembah praktik pasar gelap. Pasar Gelap Demokrasi, begitulah banyak ilmuwan politik menggambarkan lanskap demokrasi kita akhir-akhir ini. Ironisnya vonis tersebut justru hadir di tengah gegap-gempita kedaulatan rakyat yang benar-benar tercerminkan dari gelaran pemilihan umum langsung oleh rakyat.
Demokrasi yang telah terjerumus dalam mekanisme pasar gelap diidentikkan dengan proses transaksi yang ilegal, dimana para pembeli dan penjualnya pun anonim, dengan komoditas yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan, hingga tidak ada jaminan garansi/ganti-rugi maupun kejelasan hak dan tanggung-jawab antar pembeli dan penjual. Pemilu sebagai pengejawantahan demokrasi juga tidak luput dari pengaruh pasar gelap yang terus membayanginya. Walaupun sulit untuk dibuktikan, kita bisa merasakan bagaimana terjadinya transaksi “bawah-tangan” antara para caleg beserta tim sukesnya, dengan para pemilih pada Pileg 2019 silam. Jual-beli suara seakan menjadi aktifitas pemilu yang lumrah terjadi di level akar rumput. Bahkan tidak jarang ada oknum masyarakat yang berani menawarkan kepada para caleg perolehan sejumlah suara, asalkan caleg tersebut berani membelinya dengan harga fantastis.
Pilkada serentak 2020 sudah di depan mata, namun apakah ajang mencari pemimpin daerah terbaik ini mampu membebaskan diri dari belenggu pasar gelap demokrasi? Saya meyakini potensi terpaparnya justru semakin besar. Jika pada pileg, kontestan akan memperebutkan beberapa kursi pada dapil yang sama. Sedangkan pada Pilkada langsung, hanya ada satu pasangan yang akan keluar sebagai pemenang. Peluang keberhasilan politik menjadi lebih sempit pada pilkada. Sehingga menjadi masuk akal jika para kandidat akan “mati-matian” dan mempertaruhkan segalanya demi memperoleh kursi kekuasaan. Tidak ada satu pasangan calon-pun yang ingin kalah dalam pilkada. Apalagi jika para kandidat memiliki banyak sokongan dana dari berbagai pemodal, otomatis peluang untuk membelanjakan uang secara ilegal melalui pasar gelap semakin terbuka. Sebab, “uang segar” adalah alat tekan paling efektif untuk membuat orang melakukan sesuatu.
Pasar gelap demokrasi ini akan terus eksis sepanjang para elit politik kita masih diselimuti mental instanable, dimana menginginkan segala sesuatu serba instan tanpa mau belajar untuk menghargai proses karir politik. Mencari pengalaman serta membangun legitimasi politik dari level terendah hanya dianggap membuang waktu dan energi. Bagi mereka, posisi dan jabatan politik tidak perlu dibangun dari bawah, cukup dibeli saja dengan uang. Toh, semua bahan dan alat yang dibutuhkan untuk meraih kekuasaan sudah tersedia di pasar gelap. Tinggal pintar-pintar memilah dan memilihnya saja, maka kursi politik yang diinginkan lebih mudah diraih genggaman. Namun bagi mereka yang bernasib sial, pasar gelap tidak mengenal jaminan garansi dan ganti rugi jika apa yang mereka jual-belikan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Inilah resiko jika betransaksi dalam pasar gelap demokrasi, salah masuk uang melayang.
Ditengah kuatnya arus pasar gelap demokrasi ini, rakyat tidak boleh pasrah menerimanya sebagai kodrat demokrasi. Masih terbuka jalan untuk memperbaiki apa yang sudah menjadi budaya kelam para elit politik ini. Jika kelompok elit politik lebih menyukai transaksi dalam pasar gelap demokrasi, maka rakyat perlu menjalankan kontra wacana berkearifan lokal melalui pendekatan nilai-nilai Pasar Wadai dalam berdemokrasi. Lantas, nilai apa saja yang bisa rakyat dorong agar kehidupan demokrasi kita menjadi lebih baik?
Pertama, membangkitkan antusiasme rakyat. Saat menyambut pilkada kita perlu menyambutnya dengan antusias seperti halnya saat menantikan datangnya Pasar Wadai yang hanya hadir setahun sekali di bulan puasa. Antusiasme ini terlihat setiap sore hingga menjelang Adzan Maghrib, dimana pengunjung terus memadati areanya. Bukannya semakin surut, semakin malam Pasar Wadai terus disambangi oleh pembeli yang mengincar berbagai makanan dengan harga obral. Selama ini antusiasme laga pilkada hanya dinikmati oleh segelintir elit politik, para kandidat dan penyelenggara pemilu (KPU & BAWASLU). Sementara rakyat hanya menganggap pilkada tidak lebih dari sekadar urusan datang dan memberikan suaranya ke TPS. Sudah sepatutnya ruang-ruang publik mulai terisi pertukaran informasi tentang rekam jejak calon, apa programnya, bagaimana strategi para kandidat meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas sistem pendidikan, memberikan layanan kesehatan yang prima, dan lain sebagainya.
Kedua, pasar wadai memiliki daya tarik sebagai medium hiburan kuliner sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba (ngabuburit). Tantangan saat ini adalah bagaimana demokrasi kita tidak hanya mengakomodir kontestasi dalam mengisi jabatan publik, namun juga mampu mengangkat unsur entertainment bagi publik itu sendiri. Jika para kandidat dan tim suksesnya saling berseteru dengan pesaingnya, saling lempar hoaks atau kampanye hitam hingga melakukan banyak gimik dan pencitraan, tak perlulah rasanya rakyat ikut terprovokasi dan terseret arusnya. Ketegangan di masyarakat seperti pada pilpres 2019 silam tidak perlu terulang kembali, apalagi jika sampai mengoyak kohesi sosial. Padahal ujung-ujungnya baik Jokowi dan Prabowo juga bekerja sama dalam koalisi pemerintahan. Para politisi sering menyebut panggung pemilu sebagai panggung sandiwara, dimana banyak politisi bermain drama. Sehingga cara terbaik bagi rakyat untuk menikmatinya adalah dengan menjadi penontonnya.
Ketiga, kehadiran pasar wadai dianggap sebagai ajang pelestarian warisan wadai tradisional masyarakat Kalimantan Selatan guna menjaga eksistensi identitas budaya banjar. Selain wadai-wadai populer bulan puasa, pasar wadai biasanya juga menjual Wadai 41 macam yang disediakan bagi pengunjung, dimana pada hari-hari biasa penganan tersebut sangat sulit ditemui. Upaya melestarikan warisan budaya leluhur ini perlu diteladani, bahkan dalam bidang politik melalui gelaran-gelaran demokrasi. Para pemilih perlu mendorong agar calon-calon kepala daerah selalu menyertakan karakter serta nilai luhur kepemimpinan para pendahulu mereka. Sebut saja misalnya Pangeran Antasari yang tidak hanya dikenal sebagai pemimpin cerdas, pemersatu dan pembela rakyat tertindas, tetapi juga pemimpin yang taat beragama sekaligus panglima perang yang ahli strategi yang tak kenal kata menyerah. Pesta demokrasi menjadi penting bagi rakyat untuk mengukur sejauh mana keteladanan para pemimpin-pemimpin Banjar di masa lalu dapat diresapi oleh calon pemimpin daerah. Apakah mereka hanya berpura-pura mengatasnamakan rakyat, padahal sifat aslinya lebih mementingkan diri sendiri dan keluarganya dengan membangun dinasti politik, ataukah jiwa-jiwa yang tulus mengorbankan dirinya untuk kepentingan rakyat.
Keempat, salah satu keistimewaan pasar wadai yakni sifatnya yang permisif dan penuh toleransi. Pasar wadai selalu dibangun di areal strategis di tengah kota, seperti di Kota Banjarmasin di tempatkan di Taman Kamboja. Menariknya, hanya pasar wadai yang diberikan toleransi dan mendapatkan izin oleh Pemerintah Kota Banjarmasin untuk berlokasi di sana. Dimana pada saat di luar bulan puasa, Taman Kamboja merupakan areal terlarang untuk dibangun pasar karena merupakan areal taman kota. Dibeberapa kabupaten/kota lainnya juga mengeluarkan kebijakan yang serupa. Berangkat dari spirit khas pasar wadai ini, sifat permisif dan toleran perlu ditanamkan disetiap relung hati masyarakat setiap menghadapi hajatan pemilu. Tidak elok rasanya jika antar tetangga ataupun teman dikantor terjadi friksi hanya karena perbedaan pilihan partai ataupun calon kepala daerah. Perbedaan pilihan adalah keniscayaan, sehingga perlu disikapi secara bijak. Menumbuhkan mental toleran dan permisif terhadap perbedaan akan membuat riuh demokrasi terasa teduh. Tidak ada perdebatan soal selera, sepanjang kita mempunyai basis argumentasi masing-masing yang rasional dan objektif. Kita perlu belajar dari pasar wadai, yang tidak meributkan soal perbedaan selera, mana yang lebih enak antara Bingka dengan Ipau. Bukankah semuanya memiliki justifikasinya masing-masing?
Penulis: Pathurrahman Kurnain
(Dosen FISIP ULM & Direktur GLORY Institute)