Kisah Mereka yang Tak Dikalahkan Gagal Ginjal

Hari Kamis minggu kedua bulan Maret, yang tahun ini jatuh pada tanggal 14, diperingati sebagai Hari Ginjal Sedunia. Sejumlah pasien yang mengalami gagal ginjal, berbagi kisahnya dengan VOA berikut ini.

Malam tahun baru 2017 akan menjadi malam yang selalu dikenang oleh Listi Budiharjo. Ketika semua orang bersuka dengan kembang api di luar, dia justru merasakan perubahan pada tubuhnya. Mukanya membengkak, terasa pusing dari leher sampai kepala, otot matanya seperti ditarik.

“Kalau tingkat pusingnya 10, saya diangka 8. Sampai kemudian saya drop dan dibawa ke rumah sakit. Tensi saya 200/130, dokter minta observasi dan cek darah. Ternyata kreatinin saya 3,5 dan ureum 45. Dokter bilang, fungsi ginjal saya menurun,” kata Listi membuka cerita.

Tiga bulan setelahnya, Listi menjalani pengobatan konservatif dengan diet ketat pola makan. Namun diet itu tak berhasil, dan dokter kemudian memastikan bahwa cuci darah harus dilakukan. Listi mengaku, seperti jatuh dari lantai 20 ketika mendengar itu. Dirinya belum bisa menerima vonis tersebut, dan tak menjalani cuci darah. Penolakan itu membuat racun dalam darahnya pada kadar tinggi dan membuat dia tidak sadar. Sakramen pengurapan orang sakit bahkan sudah dilakukan.

Berdasarkan diagnosa dokter, ginjal Listi mengecil. Dokter yang berbeda mengatakan, faktor DNA berpengaruh dalam kasus ini. Setelah diteliti lebih jauh, ternyata gagal ginjal kronis ini disebabkan preeklamsi, yaitu hipertensi saat hamil. Listi sendiri pernah mengalami keguguran dan pendarahan.

Kasus preeklamsi ini banyak terjadi pada ibu-ibu usia muda seperti Listi. Karena itulah, karyawan di Universitas Gadjah Mada ini kini ikut aktif memberi pemahaman kepada masyarakat tentang gagal ginjal. Kurangnya informasi di kalangan ibu-ibu muda menjadi salah satu perhatiannya. Di samping itu, dia ingin masyarakat paham dan memberi dukungan kepada mereka yang mengalaminya.

“Seseorang yang terkena gagal ginjal pertama kalinya pasti shock. Dia juga tidak bisa melihat referensi di sekitarnya, bahwa dia tidak sendiri. Karena itu kita sampaikan, di belakangmu banyak teman yang seperti mereka, tetapi bisa survive 20 tahun bahkan 30 tahun dan tetap bekerja. Mereka sudah bisa menerima kondis itu, jadi kamu bukan satu-satunya,” jelasnya.

Perlunya Sikap Positif

Selain terus bekerja, Listi kini juga aktif dalam Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Dia mengaku hidupnya tanpa beban, hanya fokus untuk sehat dan berkarya. Diaakan melakukan apapun yang diinginkan yang memberinya semangat dan punya alasan untuk hidup. Termasuk di antaranya, merintis lembaga sosial yang akan memberi perhatian kepada anak-anak dan difabel.

Tak berbeda dengan Listi, ada Tri Mulyana, pria yang bekerja di sebuah perusahaan internet service provider di Yogyakarta. Tri Mulyana mulai didiagnosis gagal ginjal empat tahun lalu. Sebelumnya, dia mengalami hipertensi dan rutin minum obat. Pada saat itu, yang dia pahami adalah bahwa jika rutin minum obat, maka ginjalnya akan rusak. Karena itu, dia menghentikan rutinitas tersebut yang membuat hipertensinya tidak terkontrol. Satu tahun setelah berhenti minum obat hipertensi, Tri Mulyana justru harus mulai menjalani cuci darah pada April 2015.

“Saya pasrah saja. Ikhlas saya jalani. Bahwa ini ada titipan dari Yang Maha Kuasa. Memang butuh waktu kurang lebih enam bulan untuk bisa menerima semuanya. Nah, yang lebih jauh sebenarnya lebih penting memahami tentang penyakit ini. Apa, bagaimana dan apa yang harus kita lakukan. Alhamdulillah, ini sudah hampir empat tahun sekarang saya menjalaninya.”

Bagi mereka yang belum lama didiagnosis gagal ginjal, Tri Mulyana merekomendasikan untuk segera bergabung dengan komunitas. Ada banyak komunitas semacam ini di media sosial. Bertemu langsung dan berbagi dengan para senior juga penting untuk belajar perilaku. Apa yang boleh dan tidak boleh untuk dimakan, misalnya, di samping tetap rutin kontrol ke dokter.

Tri Mulyana kini rutin cuci darah dua kali dalam seminggu. Menurutnya, kekuasaan Yang MahaKuasa yang membuat dia bisa terus sehat. Namun, ada kiat yang dipegangnya untuk terus sehat, yaitu tidak sekalipun mencoba melakukan pengobatan alternatif. Dalam banyak praktiknya, pengobatan alternatif justru memperberat kerja ginjal.

Tri Mulyana juga memiliki prinsip 3B, bersyukur kepada Tuhan, bergerak dan berimbang dalam konsumsi.

“Saya berdoa, meyakinkan diri bahwa ini adalah titipan Yang Maha Kuasa. Syukur saya bekerja seperti biasa dan tidak dibedakan dengan karyawan lain, menjalani pola hidup lebih sehat, memahami arti penting kesehatan dan menjaga pola konsumsi. Bisa menjaga diri, apalagi jika pas kerja di lapangan, karena dalam sehari maksimal saya hanya boleh minum setengah liter air,” tambah Tri Mulyana .

Edukasi Melalui Komunitas

Data di Indonesian Renal Registry (IRR) mencatat, pasien penyakit ginjal yang menjalani cuci darah pada 2017 berjumlah 77 ribu orang. Angka itu meningkat dari tahun 2016 yang menyentuh 52 ribu pasien. Namun, menurut perkiraan masih ada setidaknya 20 ribu pasien ginjal lain di Indonesia belum memperoleh akses pengobatan.

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) adalah salah satu wadah berkumpulnya pasien gagal ginjal. Sihani, ketua KPCDI Yogyakarta menceritakankiprah organisasi ini, yang aktif mendidik masyarakatakan pentingnya ginjal sehat. Remaja kini menjadi salah satu prioritas kampanye ini.

KPCDI Yogyakarta melakukan edukasi kesehatan ginjal bagi anak-anak SMP N 1 Yogya. (Foto courtesy: KPCDI Yogya).

“Karena dalam beberapa kasus, penyebabnya ada faktor pola makan. Sekarang banyak makanan instan, berpewarna, dan bahkan kadang dicampur zat berbahaya. Gaya hidup anak-anak sekarang juga banyak begadang, makan tidak teratur dan kurang minum air putih,” kata Sihani kepada VOA.

Sihani dan KPCDI ingin memberi pemahaman sejak dini kepada anak-anak soal pola konsumsi dan gaya hidup yang sehat. Dengan bertemu langsung mereka yang mengalami gagal ginjal, dan melihat semua risiko yang harus dijalani, diharapkan anak muda lebih sadar untuk merawat ginjal mereka.

Selain itu, komunitas ini juga melakukan advokasi, jika ada kebijakan rumah sakit atau pemerintah yang merugikan mereka. Termasuk, turun langsung dalam hubungan pasien dengan rumah sakit.

“Misalnya kita mendapatkan fasilitas dari rumah sakit yang tidak sesuai dari yang seharusnya didapatkan. Obat-obatan yang seharusnya didapatkan, tetapi tidak. Mau hemodialisa tidak bisa karena ada masalah. Kita bisa membantu. Secara umum, sekarang ini pelayanan sudah banyak perubahan. Banyak obat sudah dijamin BPJS, yang penting kita bisa mengikuti alurnya,” kata Sihani.

Sihani sendiri sudah 16 tahun menjalani cuci darah. Didiagnosa pada 2003, dokter tidak menemukan apa penyebab pasti karena tidak ada penyakit penyerta dan tidak ada gejala sebelumnya. Menurut data, ada sekitar lima persen pasien cuci darah yang mengalami proses semacam itu di awal.

Sihani sendiri pernah melakukan upaya transplantasi ginjal pada 2004, namun gagal. Dia juga pernah memakai metode Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), yaitu cuci darah menggunakan cairan yang dimasukkan ke dalam tubuh. Tetapi langkah ini juga tidak cocok, hingga dia kembali menjalani cuci darah sampai saat ini.

“Setelah dua tahun, yaitu setelah transplantasi dan CAPD yang gagal itulah saya baru merasa bisa menerima keadaan ini sepenuhnya. Sebelum itu, saya selalu bersikap, saya ini sehat, mengapa harus cuci darah. Komunitas sangat membantu kita dalam bersikap. Pola pikir itu penting sekali, kita tidak boleh merasa sakit. Dan tidak kalah penting adalah dukungan dari keluarga,” ungkap Sihani. [ns/uh]

https://www.voaindonesia.com/a/kisah-mereka-yang-tak-dikalahkan-gagal-ginjal-/4828614.html

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *