Ahli Gizi UGM, Toto Sudargo, dan Ketua Perhimpunan Pengusaha Jasa Boga Indonesia (PPJI) DIY, Sri Wahyuni Dewi, menyebut anggaran tersebut masih dimungkinkan. Namun dengan beberapa catatan.
Toto menyebut anggarannya harus dikelola secara bijak agar mencukupi kebutuhan gizi semua siswa, misalnya melalui subsidi silang antar jenjang sekolah maupun produksi dalam jumlah besar. Dengan catatan, anggaran itu tidak disunat lagi.
“Saya melihat bahwa distribusi untuk harga itu disamakan, cover blanket system. Artinya SD, SMP dan SMA disamakan Rp10 ribu. Padahal kecepatan makan untuk anak-anak SD, SMA dan SMA berbeda. Di sini pintar-pintarnya pengelola ahli manajemen masing-masing wilayah. Artinya (anggaran bagi siswa) SD yang lebih mungkin disubsidi silang ke SMP atau SMA,” jelas Toto.
Tak hanya itu, anggaran sebesar itu juga masih bisa jika ditambahkan protein seperti telur dengan perhitungan yang tepat.
Namun, jika anggaran ini masih dipotong, menurutnya sulit untuk menyediakan makanan yang bergizi, malah bisa berujung pada keracunan massal.
Penilaian ini didasarkan karena dirinya juga tengah melakukan penelitian serupa dengan melibatkan lansia di tiga panti di Yogyakarta. Hasilnya, menu yang disajikan dinilai tetap memenuhi kebutuhan gizi meski dengan anggaran Rp 10 ribu.
Sementara itu, Sri Wahyuni, mengatakan dengan Rp 10 ribu, bahan yang mengandung protein seperti ayam dan telur masih bisa masuk ke dalam menu.
Namun, ukurannya akan lebih kecil dan biasanya hanya cukup untuk porsi anak TK atau SD.
“Kalau yang diminta pemerintah itu kan kemarin ada proteinnya, ada sayurnya, ada buahnya, ada nabatinya. Mungkin kalau itu bisa, ya,” kata Sri.
“Ayamnya mungkin satu kilonya bisa dibagi menjadi 15, jadi kecil gitu, ya gitu. Terus mungkin telurnya bisa separuh,” ujarnya.
Namun, dia menyebut sampai saat ini pihaknya masih menunggu regulasi resmi dari pemerintah terkait dengan besaran dan petunjuk teknis mengenai program Makan Bergizi Gratis tersebut.(kum)