Industri halal: sekadar label atau gaya hidup?

Seiring dengan menggeliatnya ekonomi syariah, kini label ‘halal’ semakin sering banyak ditemui, mulai dari makanan dan minuman halal, pariwisata halal, hingga, Halal Park.

Di sisi lain, kecenderungan konservatisme agama dalam politik kian menggejala, dibarengi makin banyaknya khalayak yang ‘hijrah’.

Syafira Desi dari L’mira Ethnique, berharap pengembangan industri halal tidak menjadi alat politik.

“Saya pikir lebih bijaksana kalau kita melihat bagaimana pemerintah setelah proses politik ini berakhir apakah benar-benar menjadi proyek yang akan diseriuskan atau hanya bahan politik,” kata Syarifa.

“Sebenarnya perjalanan ini panjang ya, sayang sekali kalau cuma untuk ajang mempolitisasi market muslim,” imbuhnya.

Lebih jauh, Syarifa mengatakan, halal dalam industri berbasis syariah lebih mengedepankan gaya hidup sehat, tidak hanya bagi umat Islam, namun konsumen secara umum.

“Sebenarnya kalau halal itu kan kebalikan dari haram, haram itu kan berbahaya, sebenarnya halal itu gaya hidup. Menurut saya, kenapa ini dianggap sebagai lifestyle itu emang lifestyle yang mendukung kita untuk sustainable, dan itu sebenarnya bukan hanya label untuk orang muslim, untuk manusia pada umumnya sangat membutuhkan,” kata dia.

Padahal, Abra Talattov dari INDEF menjelaskan industri halal tidak hanya sekedar label halal, namun juga bagaimana membuat produk halal itu mampu bersaing, baik di pasar domestik maupun global.

“Yang didorong adalah bagaimana meningkatkan efisiensi dan juga dari sisi kemasan, nilai tambah produk itu harus didorong. Tidak hanya labeling halal,” ujarnya.

“Kalau cuma labeling tapi kita tidak punya daya tarik, itu juga tidak akan dilirik oleh pasar,” imbuhnya.

 

Sumber : www.bcc.com