Gangguan Jiwa Akibat Pandemi Meningkat

Jakarta, DUTA TV Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan tingkat prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia cukup tinggi, dan meningkat akibat pandemi. Data menunjukkan 20 persen populasi berpotensi mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Celestinus Eigya Munthe, mengatakan situasi pandemi COVID-19 menyebabkan peningkatan gangguan kesehatan mental berupa depresi hingga sembilan persen.

“Kita melihat ada peningkatan gangguan masalah kesehatan akibat depresi dan anxietas yang dalam penelitiannya mempunyai gambaran sekitar 6-9 persen untuk depresi dan anxietas yang artinya terjadi juga suatu kecenderungan peningkatan akibat depresi dalam masalah bunuh diri,” ungkapnya dalam telekonferensi pers “Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021” di Jakarta, Rabu (6/10).

Situasi tersebut, lanjutnya diperparah dengan semakin sulitnya masyarakat untuk mengakses pelayanaan kesehatan jiwa karena masalah ekonomi. Kemenkes mencatat ada 24 juta tenaga kerja dari sektor informal di tanah air yang harus kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19.

Berdasarkan laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Mental Health Action Plan tahun 2013-2030, ujarnya disebutkan khususnya negara berkembang harus memperbaiki perencanaan pelayanan kesehatan mental dengan baik. Hal ini karena sebanyak 80 persen negara-negara berkembang masih belum memiliki perencanaan pelayanan kesehatan jiwa yang baik, kemudian sebanyak 50 persen negara berkembang belum memenuhi aspek hak asasi manusia (HAM) dalam mempraktekkan pelayanan kesehatan jiwa. Maka dari itu, Indonesia, kata Celestinus, menargetkan 20 persen orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat akan mendapatkan pelayanan kesehatan mental di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan pada 2022 mendatang.

“Dan kita juga akan mengupayakan dalam tahun 2022 angka bunuh diri menurun 10 persen, serta kita akan membuat suatu sistem dalam upaya mengumpulkan data terhadap indikator kesehatan jiwa,” tuturnya.

Dalam mewujudkan target itu, Celestinus mengakui ada berbagai kendala, yakni di antaranya tingkat prevalensi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia yang cukup tinggi di mana satu dari lima penduduk atau 20 persen populasi di tanah air berpotensi mengalami masalah gangguan kesehatan mental.

Selanjutnya, sampai detik ini belum semua provinsi memiliki fasilitas rumah sakit jiwa yang mengakibatkan adanya kesenjangan pengobatan antara satu daerah dengan daerah lainnya, stigma negatif dan diskriminasi dari masyarakat kepada ODGJ, serta masih terbatasnya tenaga kesehatan jiwa yang tersedia.(voai)