Dokumen Palsu Terbongkar saat Seleksi Penerimaan Polri di Kalteng

 

DUTA TV – Aksi komplotan pembuat dokumen palsu di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah terbongkar. Berawal dari kecurigaan polisi terhadap kartu keluarga milik salah satu peserta seleksi Bintara Polri di Polres setempat pada Jumat (21/8).

“Saat itu anggota kami curiga karena kartu keluarga salah satu peserta ada yang janggal. Setelah diperiksa oleh pegawai dari Disdukcapil, akhirnya diketahui bahwa kartu keluarga itu diduga kuat palsu. Dari itulah akhirnya terbongkar dan pelaku kami tangkap,” kata Kapolres Kotawaringin Timur AKBP Abdoel Harris di Sampit, Senin (24/08).

Dalam keterangannya saat didampingi Wakapolres Kompol Abdul Aziz Septiadi dan Kepala Satuan Reserse Kriminal AKP Zaldy Kurniawan, ada tiga orang yang ditangkap dalam kejadian itu. Mereka adalah RY yang bertugas mencari korban, FK sebagai pembuat dokumen palsu dan AF yang memasok bahan dokumen palsu kepada FK.

RY berkeliaran di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menjadi calo yang mencari calon korban. Dia menawarkan jasa pembuatan dokumen kependudukan seperti kartu keluarga, KTP elektronik, surat keterangan catatan kepolisian, surat kehilangan dan lainnya, yang dijanjikan selesai dalam waktu cepat.

Setiap dokumen dipasang tarif berbeda antara Rp250 ribu hingga Rp500 ribu. Pelaku berdalih mempunyai jaringan orang dalam sehingga bisa membuat dokumen kependudukan dalam waktu singkat dan tidak perlu antre.

Penyidik kemudian mengembangkan kasus ini dan ternyata diketahui pembuatan dokumen palsu itu melibatkan oknum pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang berinisial AF. Saat penggeledahan, polisi menemukan banyak e-KTP diduga palsu, dua printer, berbagai stempel palsu seperti bertuliskan Polres Kotim dan sejumlah instansi, SKCK, surat keterangan kehilangan, blanko ijazah, dan lainnya.

Komplotan ini diduga sudah beraksi selama dua tahun. Saat ini penyidik masih menelusuri sudah berapa banyak dokumen palsu yang mereka terbitkan dan siapa saja yang menjadi korbannya.

Komplotan ini dijerat dengan Pasal 96 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 263 ayat (1) dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun.(rol)